Dalam Islam, perkawinan merupakan suatu cara manusiawi yang terpuji untuk menyalurkan nafsu seks bagi seorang agar tidak menimbulkan kerusakan dalam masyarakat dan juga mengandung suatu sarana untuk meraih kesempurnaan Rohani agar suami istri hidup tentram, cinta mencintai dan kasih mengasihi yang dalam Al-Qur'an dikenal dengan sebutan mawaddah wa rahmah.
Kaitannya dengan pengertian nikah atau perkawinan menurut pandangan imam mazhab, golongan Malikiyah mendefinisikan nikah sebagai berikut:
Artinya:
"...Nikahadalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata  untuk  membolehkan watha bersenang-senang dan menikmati  apa  yang  ada  pada  diri seorang wanita boleh nikah dengannya."
Dari sudut pandangan Islam, perkawinan adalah satu-satunya cara yang berguna untuk menjaga   kebahagiaan ummat dari kerusakan dan kemerosotan akhlak.
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan  remaja. Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 7 "Perkawinan  hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai 16 tahun". Namun pemerintah mempunyai  kebijakan  upaya penyelenggaraan keluarga berencana. Banyaknya resiko kehamilan yang terjadi jika usia perkawinan dibawah umur 19 tahun.
Bagi pasangan suami istri yang belum siap melahirkan keturunan biasanya melakukan Keluarga Berencana (KB) sebagai daya upaya manusia untuk mengatur secara sengaja kehamilan dalam keluarga.
Thariq At-Thawari dalam bukunya yang berjudul "KB Cara Islam"menjelaskan bahwa pada zaman Rasulullah saw.,  tidak  ada  seruan  luas  untuk  ber-KB atau membatasi keturunan, atau mencegah kehamilan di tengah-tengah kaum muslimin. Tidak ada upaya dan usaha yang serius  untuk  menjadikan al-azl sebagai amalan  yang  meluas  dan  tindakan  yang populer di Tengah-tengah masyarakat.
Sebagian sahabat Rasulullah saw., yang melakukannya pun tidak lebih hanya pada kondisi darurat, dan ketika hal itu diperlakukan oleh keadaan pribadi mereka. Di samping itu, pertumbuhan sang  anak pada masa menyusui juga teracam bila sang ibu hamil lagi. Dalam  kondisi-kondisi seperti di atas, bila seseorang menggunakan salah satu cara atau alat untuk  mencegah kehamilan setelah mendapat petunjuk dari dokter yang terpercaya, maka seseorang itu dibolehkan untuk melakukan hal tersebut.
Metode apapun yang digunakan untuk mencegah kehamilan boleh digunakan, asal disepakati oleh pasangan suami istri, dan tidak membahayakan tubuh dan nyawa mereka, serta tidak bertentangan serta bertolak belakang dengan Islam dan hukum-hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H