Mohon tunggu...
luviana nusantara
luviana nusantara Mohon Tunggu... -

Luviana, Jurnalis cum Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komite Aksi Perempuan: Dari Jalan, Kuikrarkan Tujuan

1 Juli 2013   00:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:11 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komite Aksi Perempuan:Dari Jalan, Kuikrarkan Tujuan

Luviana

Di sebuah jalanan di sepanjang Kedoya di Jakarta, ada seorang perempuan penyapu jalan. Subuh, hari masih gelap selalu dilawannya. Ia menyapu dengan tekun. Pertamakali ia akan menyapu sampah-sampah di belakang pabrik berita, lalu daun yang gugur. Terakhir ia akan membersihkan sampah-sampah yang melekat di sepanjang jalan. Tawanya selalu tergelak, walopun peluh selalu membahasi wajahnya ketika orang lain masih menutup selimut tidurnya. Orang-orang disana mengenalnya sebagai penyapu jalan. Ia datang dari Jawa, merantau, dan hingga kini terus memburuh. Suaminya, bekerja sebagai pemulung, setiap hari membantu istrinya mengumpulkan sampah. Botol minum, kertas, daun kuning layu, ia simpan sebagai hiasan di rumahnya. Sampah ini menebarkan hawa busuk, namun tak demikian dengan hidung si Yati, si perempuan penyapu jalanan itu. Sampah ini ia rasakan bau harumnya. Robi, anak pertamanya, kini sudah kuliah dengan bantuan beasiswa, perjuanganya emaknya, dan juga kerja keras dari hasil jual beli sampah yang menggunung dan menebarkan bau tak sedap ini.

Robi, tak mau seperti emak dan bapaknya. Ia sadar, ia harus memperbaiki nasibnya, agar bisa membaca dan menulis, tak seperti emak dan bapaknya. Ia harus bisa membayar obat, bagi emak dan bapaknya. Ia harus membawa adiknya jalan-jalan keliling dunia.

Robi adalah anak buruh penyapu jalan yang telah kenyang tergusur . Pengalaman tergusur ini ternyata mengenal keturunan, mengenal roda nasib. Buktinya, tak hanya dirasakan oleh Yati, tapi juga oleh Robi dan Ardi, adiknya. Pengalaman tergusur mengenal darah daging. Sudah lima kali ia terkena gusuran. Ia ingat, dulu pertamakali digusur, Ardi adiknya belum lahir. Hingga tergusur lima kali, lahirlah Ardi kemudian,”Emak lahiran di tempat gusuran. Sekarang kami sudah besar”. Robi sudah 20 tahun, dan Ardi sudah 14 tahun. Yati, pernah menggugat mantan Gubernur DKI Jakarta, Soetiyoso, karena Soetiyosolah yang dulu selalu meggusurnya. Yati dan kawan-kawannya yang tergabung dalam FMKJ (Forum Masyarakat Kota Jakarta) menang di pengadilan, namun tak pernah dapat ganti rugi hingga kini. Kepalanya selalu sakit jika mengingat itu semua.

Di sebuah jalanan di Depok, jangan lupa untuk singgah ke pedagang jalanan. Mereka tak lagi punya warung, telah tergusur. Lihat dan tengok, ada banyak ibu yang juga jadi korban penggusuran. Mereka tukang warung, yang mengais ekonomi hidupnya dari berjualan botol minum, kacang kulit, makanan kecil.

Ternyata, malapetaka penggusuran ini juga menular. Mengular, dari tepi jalanan di kedoya hingga Depok. Ibu Sri Wahyuningsih punya warung di belakang kampus UI. Warungnya porak-poranda, digusur aparat yang tak mengenali manusia. Manusia menggusur manusia lain. Yati meneteskan air mata melihat nasib Ibu Sri. Peristiwa kelam itu sudah lima kali ia alami. Ia ingat polisi yang berteriak kasar, hiruk-pikuk di tengah bau meriam dan buldoser tajam. Ia pernah merasakan kekerasan itu, kekerasan atas nama pembangunan. Semua korban kini tercerai-berai, memburuh dimana-mana, di pabrik, menyapu jalan, memulung, menjual teh, mengemis. Bahkan sudah ada yang mati, diperkosa, depresi karena penggusuran dan harus kehilangan rumah. Yati merasakan kini, bahwa penggusuran ini menular, kesedihan ini menular, depresi ini mengular. Tak ada obatnya, obatnya hanya melawan! Ini yang selalu menjadi gumanannya setiap sore. Ia pernah tidur di halaman orang, di kebun orang, hingga tidur di emper komnas HAM dan Komnas perempuan ketika tergusur dulu. Nasib membawanya menjadi orang yang selalu terlunta.

Solidaritaspun menular, tak berujung oleh waktu.

Suara Yati, dan ibu Ayu, tetap terdengar lantang, di sebuah ruangan kecil, di Kebayoran baru.12 tahun sejak Yati digusur. Mereka hadir di sebuah acara yang diadakan Komite Aksi Perempuan (KAP), Juni 2013. Mereka memberikan semangat. Para buruh-buruh perempuan yang hadir tertawa-tertawa memberikan ucapan selamat. Mereka teringat Sulami, teringat Sri, Harti, SK Trimurti. Teringat Kongres Gerwis, teringat Kongres Gerwani. Hanya perempuan yang berani melawan yang hadir disini. Tak soal tak ada uang, berjualan koran dan botolpun jadilah. Kongres besar tak butuh banyak uang. Semangat jalanan, dari Kedoya hingga Depok, tetap mengular.

Apa yang kau dapatkan dari pertemuan ini, Yati? Apa yang kau harapkan dari pertemuan ini bu Ayu? Sebuah kerinduan untuk bertemu, untuk berbagi. Dengan para buruh jalanan. Apa yang kau impikan? Teriakan yang lantang tak berujuang waktu. Selalu terdengar keras diantara mesin kereta, arus jalanan, suara mesin pabrik, diantara himpitan ekonomi perempuan buruh di Indonesia.

Jika kau tak gentar melawan, kamipun tidak. Tak hanya senja, fajarpun kami siap untuk turun ke jalan. Karena disinilah, kita akan mengikrarkan tujuan.Konsolidasi harus terbangun, Gerakan sosial harus berbasis massa. Komite Aksi Perempuan siap turun ke jalan. Pancangkan panji-panji perlawanan, pada buruh dan ibu-ibu yang melawan.

Selamat pagi Yati, Selamat pagi bu Ayu... Dari Jalan, kita Ikrarkan Tujuan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun