Meski terik matahari kian menyengat, seiring dengan naiknya si raja siang ke permukaan alam. Gadis kecil itu masih nampak asik dengan sepeda butut miliknya. Ia masih belum mampu mengayuhnya dengan seimbang, seringkali ia terjatuh dan masuk ke dalam timbunan rumput yang sengaja di kumpulkan seseorang disana. Ia tak henti mencoba, meski berkali-kali jatuh dan menimbulkan beberapa goresan luka di tubuhnya.
Ara namanya, beberapa hari yang lalu ia merengek ke ayahnya meminta sepeda baru. Teman-teman seusianya sudah bisa bersepeda dengan lancar, sedangkan ia belum pernah mencobanya sama sekali. Ara ingin seperti teman-temannya yang lain, beberapa dari mereka berangkat pulang sekolah naik sepeda, tidak lagi jalan kaki. Jarak dari rumahnya ke sekolah memang hanya sekitar 350 meter, tetapi karena seringkali ia harus berangkat pulang sendiri dengan tas di gendongannya yang lumayan berat, gadis berusia 6 tahun itu seringkali merasa kesepian di jalanan yang ramai.
Meski Ara sudah terbiasa sejak masih TK harus berangkat dan pulang sendiri, dengan jarak yang sama juga, namun jika ia melihat anak seusianya yang selalu diantar jemput sekolah, ia juga merasa iri, mengapa hanya ia yang jalan kaki sendirian? Ibunya sibuk mengurus adiknya yang baru berusia 1 tahun. Kedua kakaknya masih di jenjang Sekolah Menengah Pertama, sedang ayahnya? Entah kemana Ara juga tidak tahu. Mungkin ia sibuk bekerja sehingga ia tak bisa juga mengantar jemput Ara sekolah?
Kata ayahnya, Ara harus bisa naik sepeda dulu nanti baru dibelikan yang baru. Makanya, saat ia diberi sepeda butut bekas kakak pertamanya dulu, yang semua bagiannya sudah menghitam berkarat. Ara, si kecil yang masih begitu lugu, ia menatap antusias sepeda yang baru saja di keluarkan dari gudang yang berisi barang-barang lama itu. Ia tak melihat betapa buruknya sepeda yang akan menemani hari-harinya nanti, tapi yang ia pikirkan adalah bagaimana ia bisa lebih bersemangat berangkat ke sekolah tanpa harus jalan kaki lagi.
Si kecil Ara, ia tidak belajar sepeda dengan bantuan roda dua di belakang. Ia langsung disuruh mengayuh dengan gesit oleh ayahnya yang berjanji akan terus memegangi bagian belakang sepedanya agar ia tidak terjatuh. Namun, belum lancar ia mengayuh, ayahnya sudah melepas pegangannya hingga membuat ia tersungkur di atas tanah. Ara kecil ingin menangis, namun sang ayah justru melarangnya.
“Baru jatuh sekali doang, jangan nangis.”
Ayahnya benar, Ara tidak boleh menangis. Jika dengan mencoba lalu ia terjatuh, bukankah itu hal yang lumrah? Tetapi, bagaimana ia harus mengungkapkan rasa sakitnya? Melihat luka terjatuhnya yang masih segar, lalu rasa sakitnya yang kian mendera, salahkah jika ia merasa sedikit terluka?
Hari-hari berikutnya, Ara belajar menaiki sepedanya seorang diri. Berbekal tekad dan pesan ayahnya yang melarang ia menangis ketika terjatuh kemarin, Ara membiasakan diri dengan rasa sakit yang ia rasakan. Ia tidak peduli dengan luka yang ada di lututnya, sikutnya, dan juga di beberapa ruas jarinya. Ia hanya ingin bisa menaiki sepedanya dengan lancar.
Ara kecil selalu dilarang menangis oleh ayahnya, meskipun menangis adalah hal yang wajar bagi anak seusianya, Ara terbiasa sejak kecil untuk memahami kerasnya dunia. Meski ia jatuh berkali-kali, ia tidak boleh menyerah dan harus selalu bangkit untuk dirinya sendiri. Ia juga belajar sedari kecil untuk tidak menggantungkan prosesnya pada oranglain. Ara sudah terbiasa mengatasi masalahnya sendiri, ia sudah cukup dewasa sejak usia bermainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H