BAB I
"Islam dan Kepemimpinan Perempuan"
Pada bagian awal bab ini membahas bagaimana ketidak adanya kasta yang membedakan antar umat manusia yang mengutip ayat (Qs. Al-Hujurat 49:13). Khadijah, Aisyah, dan Fatimah adalah ketiga manusia yang mendapatkan perilaku dihormati, disayangi, dan disantuni oleh baginda nabi, padahal pada zaman itu wanita di anggap sebagai makhluk yang tidak utuh dan kurang di pandang malah nabi pada saat itu menghormati atas kesetaraan hak yang boleh di penuhi oleh perempuan yang harus setara dengan laki-laki yaitu ilmu pendidikan.  Lantas bagaimana konsep kepemimpinan dalam Islam? Menurut buku "ISLAM, KEPEMIMPINAN, PEREMPUAN DAN SEKSUALITAS" hal yang patut dimaknai adalah, Allah s.w.t. Menciptakan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpinin, yang di tuliskan  surat (Qs. Al-Baqarah: 30). "Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab kaum perempuan" (Qs. An-Nisa:34) kata Qowwam disini menimbulkan perdebatan di antara para ahli tafsir dan terjemah.  Dalam kepemimpinan perempuan dan otonomi diri terdapat teori yang dituliskan dalam buku ini yaitu teori sosialisasi politik, teori ini mengatakan bahwa "keluarga dan orang tua adalah penentu utama anak untuk terlibat dalam kehidupan politik". Namun terdapat juga kendala yang di alami oleh perempuan-perempuan muslim dalam konteks kepemimpinan tertulis dalam buku ini ganjalan terkuat adalah ganjalan teologis. Ganjalan ini muncul karena adanya persepsi konsep "qowwam" "Arrijalu qawwamuna `alan nissa". Dan pada dasarnya masalah tersebut seharusnya tidak ada karena kembali ke konsep awal yang Allah s.w.t ciptakan adalah Allah s.w.t. Menciptakan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin "inni ja`ilun fil ardhi khalifah". Terdapat analisa menarik yang ada dalam buku ini, analisa ini dikemukakan oleh Dr. Onghokham perihal kepemimpinan perempuan yang di predikatkan untuk ibu presiden ke 5 Indonesia. Ong menyatakan, kerinduan arus masyarakat kepada figur pengayom tampaknya akibat dari kejenuhan terhadap pola penerapan kepemimpinan bapakisme yang terlampau mengedepankan sikap otoritarian, hierarkis, penakluk, dan represif. Otonomi daerah merupakan kenijakan yang dibuat pemerintah untuk setiap daerah, daerah memiliki kebijakan untuk membangun wilayahnya secara mandiri. Lalu apa hubunganya dengan perempuan? Dalam kaitanya potensi perempuan selama ini  terutama di belahan daerah belum sepenuhnya diberdayakan secara baik dan layak merujuk pada UU No. 22 tahun 1999.
BAB II
"Islam dan Seksualitas Perempuan"
Perkawinan merupakan tahapan hidup yang di anggap sakral oleh umat manusia. Menurut penulis buku ini, salah satu fungsi perkawinan untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia. Namun dalam menciptakan ketentraman tersebut tafsir agama memposisikan perempuan dalam satu predikat yang melekat adalah "penjaga gawang". Dalam Islam ayat yang sering dikemukakan adalah "Hendaklah perempuan tetap tinggal di rumah, jangan sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang diperbolehkan agama".(Qs. Al-Ahzab/33:73). "Perempuan sebagai (pelengkap) suami dan mematuhinya sebagaimana seorang jemaat mematuhi yesus" adalah sebuah tafsir yang sering dikemukakan oleh katolik dan mengacu kepada ayat-ayat dalam alkitab, "istri harus tunduk kepada suami, karena suami adalah kepala istri, seperti Kristus adalah kepala jemaat (efesus 5:22) dan "laki-laki menyinarkan gambaran Allah sedangkan perempuan menyinarkan gambaran laki-laki" (1 korintus 11:7-9). Di Indonesia dalam UU Perakawinan No. 1 tahun 1974 (UUP) Pasal 31 ayat 3 "Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga" Â ditegaskan kembali di pasal 34 "Suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya".Â
Fungsi lainya dalam perspektif agama adalah melahirkan keturunan, dan menghindari praktik zina. Perkawinan poligami, menurut buku ini perkawinan poligami merupakan perkawainan yang di lakukan oleh pria demgan dua orang perempuan atau lebih pada saat yang bersamaan. Poligami dalam islam merupakan sebuah upaya mengatasi suatu permasalahan yang mendesak, salah satunya membantu perekonomian para "Randa".Â
Namun menikahi para "Randa" tersebut tidak boleh lebih dari empat orang, khawatir tidak dapat berlaku adil. Dijelaskan dalam Al-Quran surat Annisa ayat 3 " Jika kamu khawatir tak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, kawinilah perempuan-perempuan yatim tersebut sesuai dengan yang kamu sukai dua, tiga, atau empat.Â
Namun, jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu saja. Sebab yang demikian (dengan hanya satu tersebut) dapat menjauhkan kamu dari bersikap aniaya". Hal terpenting dari poligami ini adalah dampak terhadap perempuan, yang tertulis dalam buku ini dampak nya adalah : mengalami penurunan kepuasan hidup, kepuasan perkawinan, gangguan jiwa yang berdampak terhadap kesehatan fisik, depresi, gangguan psikosomatik, mudah mengalami kecemasan, paranoid, merasa rendah diri, menjadi tidak berharga, lebih mudah mengalami stress.Â
Jilbab merupakan suatu hal yang wajib digunakan oleh wanita muslim, namun di era reformasi jilbab kini telah dipolitisasi. Menurut buku yang ditulis Neng dara affiah, jilbab di politisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik demi meraih suara pemilih demi jabatan bupati, gubernur, atau anggota DPR.
BAB III