Sepakbola pada dasarnya tidak mewajibkan siapapun yang memainkannya untuk menggunakan sebuah proses maupun cara tertentu yang indah dan dapat diterima oleh semua orang demi terciptanya sebuah tujuan utama dalam permainan si kulit bundar ini yaitu gol dan kemenangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa hampir keseluruhan fans sepakbola di dunia ini menginginkan sebuah pertandingan indah yang berujung kemenangan bagi tim kebanggaannya, namun berbicara mengenai gol dan kemenangan adalah dua sisi mata uang yang sebenarnya memiliki perbedaan cukup mendasar, karena pada kenyataannya yang terjadi di lapangan pertandingan tidak semua tim yang mampu mencetak gol sukses meraih tujuan lainnya yaitu menang dalam pertandingan.
Gol berarti tentang bagaimana sebuah proses dalam sepakbola berjalan, tetapi kemenangan adalah tujuan selanjutnya setelah gol tercipta. Dalam point ini saya tidak bermaksud untuk berpendapat bahwa gol bukan menjadi sesuatu yang penting, hal itu tetap menjadi sebuah keharusan demi pundi-pundi point, tetapi bermain dengan cara mencetak gol yang indah tidak selamanya berujung pada suka cita di ruang ganti pemain pada penghujung laga.
Kita semua sebagai sesama penikmat permainan lapangan hijau tentu pernah sama-sama tahu tatkala Barcelona yang sangat tersohor dengan gaya permainan tiki-taka yang indah dan diklaim sebagai possesion terbaik di jagat raya dikalahkan secara tragis oleh Chelsea yang selama ini selalu menjadi bahan guyonan sebagai tim besar yang hanya bisa melakukan pekerjaan membuang bola sejauh mungkin dari area pertahanannya sendiri dengan kata lain sepakbola pragmatis. Tidak ada yang salah dengan strategi yang diterapkan Josep Guardiola ( Pelatih Barcelona saat itu ), bukan suatu keberuntungan juga dengan apa yang diinstruksikan oleh Roberto Di Matteo kepada anak asuhnya di Chelsea, hanya memang akan ada saatnya suatu keadaan di mana sepakbola pragmatis unggul atas tiki-taka, atau sebaliknya.
Dua strategi sepakbola yang saya bahas ini sama-sama mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing di tengah lapangan permainan, siapa yang berani untuk mencoba strategi tiki-taka namun tidak mempunyai stok pemain yang cukup memadai dengan skill yang tinggi diimbangi kekuatan fisik yang prima saat menghadapi tim yang cukup disiplin dalam bertahan dan memanfaatkan serangan balik, maka akan mudah untuk mengalami kegalauan tingkat tinggi saat bermain yang pada akhirnya menghasilkan sebuah kekalahan. Demikian juga dengan tim yang nekat menunjukkan taktik pragmatis dan hanya memanfaatkan serangan balik, tanpa didukung oleh pemain yang punya kecepatan tinggi dan unggul dalam fisik untuk kondisi bertahan, maka akan sangat mudah dibuat kocar-kacir oleh lawan-lawannya. Maka pada kesimpulannya, bermain secara pragmatis maupun tiki-taka harus didukung pula oleh kondisi dan kemampuan pemain yang dimiliki oleh sang pelatih.
Chelsea adalah salah satu tim yang terbilang sukses di era sepakbola modern dimana saat banyak orang mengagungkan permainan sepakbola secara indah, namun tim berkostum biru asal Kota London, Inggris ini mampu tetap eksis dengan prinsip pragmatisnya dalam setiap laga yang mereka jalani. Roberto Di Matteo maupun Jose Mourinho merupakan dua sosok peracik strategi yang cukup sukses menahkodai Chelsea tetap dengan filosofi dasar tim yang dimiliki oleh taipan minyak asal Russia, Roman Abramovic ini. Seperti yang saya bilang di paragraf sebelumnya, bahwa strategi sepakbola jenis apapun tidak akan memiliki kesempurnaan yang absolut, semua itu tetap tergantung pada stok pemain yang dimiliki, lawan yang dihadapi, dan keadaan selama 90 menit atau lebih pertandingan berjalan.
Chelsea dengan prinsip dalam strategi yang diterapkannya tetap mempunyai waktu dan batas untuk memulai, mempertahankan atau bahkan harus mengakhiri seperti yang mereka hadapi musim ini. Kehancuran tim ini di Liga Premier Inggris merupakan bukti bahwa sudah saatnya seluruh elemen yang ada di dalam tim untuk memutuskan suatu pilihan, yaitu tetap mempertahankan filosofi pragmatisnya, atau merubah untuk memainkan sepakbola indah di stadion, semua pilihan itu bukanlah tindakan yang mudah, karena sama-sama mengandung konsekuensi dimana tim ini harus memperbaiki segala hal yang menjadi akar kelemahan si biru.
Berbicara dalam posisi saya sebagai fans sepakbola secara umum, pada hakikatnya Chelsea perlu menghilangkan sifat angkuh yang sudah mulai muncul saat pertama kali klub sepakbola ini dibeli oleh Roman Abramovic yang terkenal royal hingga rela menggelontorkan dana transfer tak terbatas untuk membeli pemain dengan label bintang lima. Dengan tersedianya transfer budget yang unlimited, seakan-akan pemilik Chelsea memberikan suatu pembelajaran yang tidak akan sejalan dengan tujuan prestasi di masa depan, lihat saja gelagat mereka saat tidak mengedepankan pembinaan pemain muda, sehingga akademi Chelsea yang bermaterikan pemain masa depan tim tersebut menjadi terbengkalai dan dari tahun ke tahun hampir tidak ada satu pemain home grown yang menjadi pilar di tim utama, semua itu karena orientasi sejak awal adalah kejayaan yang mampu digapai dengan uang, padahal tidak selamanya.
Coba kita tengok sejenak beberapa klub lain semacam Ajax Amsterdam di Belanda misalnya, dengan pembinaan pemain muda yang berkelanjutan, klub asal Belanda ini mampu menelurkan pemain-pemain bintang yang sukses menerjemahkan instruksi pelatih hingga berbuah suka cita yang hakiki bagi fans dan klub itu sendiri, karena pemain muda atau yang asli binaan klub, akan terbiasa sejak dini dengan filosofi dasar bermain yang dibangun oleh klubnya, sehingga mereka tidak akan terkesan kagok ketika suatu saat mendapatkan kesempatan yang cukup berharga untuk menjadi starting line up di tim utama.
Beda halnya dengan apa yang dilakukan Chelsea, hampir semua pemain bintang yang didatangkan mempunyai kualitas yang di atas rata-rata pemain yang ditransfer oleh klub lain, namun tidak jarang hasil yang diraih oleh roman emperor tidak sebanding dengan jumlah rupiah yang harus mereka keluarkan saat belanja pemain. Jawabannya hanya satu, karena kebanyakan pemain sepakbola yang didatangkan oleh Roman Abramovic maupun manajer Chelsea tidak sesuai dengan gaya permainan dasar yang dimiliki oleh tim, meskipun kualitas dan harganya setinggi langit.
Mari sama-sama kita amati beberapa pemain yang berasal dari akademi Chelsea, ada nama Frank Lampard, John Terry, Nemanja Matic, hingga si raksasa Kurt Zouma, mereka semua terbilang sukses memainkan perannya sebagai pemain yang menghuni susunan inti tim dalam setiap pertandingan, bukan sesuatu yang mengherankan karena sejak awal menempa ilmu bersama tim pelatih di Chelsea, para pemain tersebut telah terbiasa dengan gaya dasar bermain yang diterapkan oleh Chelsea.
Beda dengan apa yang menimpa Fernando Torres, Andriy Shevchenko, Michael Ballack, Pedro, dan Radamel Falcao, nama-nama tersebut cukup populer secara kualitas di dunia, tentu harga transfer dan gaji yang harus dibayarkan cukup selangit dan tidak banyak klub yang mampu meminangnya, tetapi secara statistik permainannya di Chelsea justru seperti pemain amatir yang baru belajar sepakbola dalam waktu yang cukup singkat, mereka semua tidak mengenal Chelsea, yang mereka tahu hanya datang ke klub dan dibayar besar untuk bermain bola, yang petinggi klub tahu, mendatangkan pemain bintang demi gengsi tanpa mengedepankan kebutuhan klub yang sesungguhnya, akhirnya hanya malu yang didapat pada penghujung musim karena gagal memenuhi ekspektasi fans untuk berprestasi di liga domestik maupun turnamen pada level eropa.