Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Milik Siapa?

2 Maret 2016   12:47 Diperbarui: 2 Maret 2016   14:50 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesta demokrasi di Indonesia tak ubahnya seperti pesta rakyat yang menawarkan beragam ekspresi suka, duka, maupun seremonial dalam setiap penyelenggaraannya. Sebagai sebuah negara yang menganut Demokrasi dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat keberadaan pemilihan umum secara langsung menjadi oase tersendiri yang mampu menciptakan semangat nasionalisme yang dibalut dengan sikap demokratis antar warga negara, baik itu rakyat biasa sebagai pemilih, partai, ataupun calon pemimpin yang mendapatkan hak untuk dipilih.

Dinamika yang mengiringi pesta lima tahunan ini selalu ramai menjadi topik utama perbincangan setiap insan, mulai dari isu kampanye hitam, maupun praktik politik uang yang sampai saat ini seakan-akan menjadi teman akrab pilkada.

Konstelasi politik di Republik Indonesia sejatinya didesain untuk menciptakan kader-kader yang mempunyai integritas dan kompetensi yang mumpuni menjadi calon pemimpin di era yang akan datang dengan menggunakan sebuah kendaraan politik yang bernama partai. 

Desain yang dilaksanakan menjadi sebuah sistem kaderisasi untuk mencari putra-putri terbaik bangsa memang suatu hal yang sangat mulia, serta bisa menjadi jawaban yang cukup menenangkan hati rakyat ditengah minimnya tokoh-tokoh veteran yang mengalami degradasi moral karena terlibat kasus korupsi, asusila dan beberapa perilaku amoral lainnya di tengah-tengah mengemban jabatan. 

Sistem kaderisasi oleh partai tersebut memang cukup baik, apalagi saat ini sudah cukup banyak kepala daerah yang tersohor karena kinerjanya yang ciamik dan mereka terlahir dari kader partai-partai nasional yang tersebar di negara ini, sebut saja Tri Risma ( Walikota Surabaya  PDIP ) dan Basuki Tjahaja Purnama ( Gubernur DKI Jakarta, Gerindra ), dua nama di atas selalu mendapatkan sanjungan karena mengedepankan orientasi kerakyatan dalam melaksanakan tugas sebagai kepala daerah.

Tidak ada salahnya jika sebagian warga masyarakat termasuk saya cukup sering meragukan status “orang partai” dalam kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia, hal itu karena sejauh ini cukup sering kita mendengar adanya kasus korupsi yang menggurita di Indonesia dan melibatkan kader-kader partai tertentu yang menjadi oknumnya. Setelah sadar bahwa melalui sistem kaderisasi yang dijalankan partai sebagai sebuah kendaraan politik juga mampu melahirkan sosok-sosok pemimpin idaman rakyat, saya kemudian mengganti ungkapan “orang partai” yang terlibat korupsi menjadi “oknum”. 

Kita tentu tidak bisa serta merta menyalahkan partai, atau bahkan lebih parah lagi jika ada pendapat yang menyatakan bahwa satu anggota partai korupsi, maka seluruh kompatriotnya di partai tersebut juga melakukan hal yang sama. Saya mengira wajar jika banyak pendapat nyinyir yang keluar ketika mendengar karta partai politik, tetapi menyamaratakan kader partai yang jelas terbukti korupsi dengan kader lainnya yang sama sekali belum terbukti apa-apa itu adalah sebuah perlakuan yang sangat kasar, ingat bahwa hukum kita menjunjung tinggi makna asas praduga tak bersalah.

Muara kaderisasi adalah terpenuhinnya target pendapatan suara di suatu daerah pemilihan yang mampu mengantarkan kader partai menjadi kepala daerah tersebut. Rencana jangka panjang ini bukanlah hal yang salah dalam lingkup disiplin ilmu politik dan budaya demokrasi di Indonesia, namun akan menjadi sangat salah kaprah apabila partai sebagai sebuah alat yang membangun sistem tersebut gagal melakukan penempatan kader pada tempat yang tepat. The right man in the right place, kurang lebihnya seperti ungkapan itulah yang harus dipikirkan oleh para petinggi partai, mereka harus tau kapan, siapa, dan ditempatkan di mana.

 PDIP sebagai salah satu partai yang cukup tua dan besar di Indonesia hampir saja mengalami “kecelakaan” ketika mengambil keputusan untuk menempatkan Joko Widodo – Ahok di kursi DKI Jakarta 1, mengapa? Karena kedua sosok ini bukan orang Jakarta asli, dan mereka tidak cukup punya bekal pengalaman untuk “ngemong” masyarakat jakarta dan wilayahnya sebagai sebuah daerah yang sekaligus menjadi representasi Indonesia di mata dunia. Namun akhirnya nasib partai berlambang moncong putih ini terselamatkan karena dua orang tersebut mempunyai kompetensi dan integritas di atas rata-rata yang bisa digunakan untuk menutup pengalaman mereka yang cukup minimalis di ibu kota negara.

Joko Widodo pernah sukses membangun Solo, Tri Risma telah berprestasi sebagai ibunya rakyat Surabaya, Ridwan Kamil mampu kembali menggeliatkan maung bandung, dan Ganjar Pranowo telah diakui sebagai mas yang baik bagi warga Jawa Tengah. Pemimpin-pemimpin daerah yang namanya saya sebut di atas adalah contoh nyata bahwa pembangunan sebuah daerah harus dibalut dengan rasa kedaerahan yang dimiliki oleh pemimpinnya, maka jika rasa kedaerahan tersebut sama sekali belum ada, saya rasa akan sangat sulit bagi kepala daerah untuk bisa memberikan perubahan baik yang nyata kecuali jika mempunyai modal kemampuan kepemimpinan yang jauh di atas standar.

 Hal ini penting karena jika kita sudah mengetahui kondisi daerah yang akan kita pimpin, ditambah lagi dengan rasa kecintaan kita pada daerah tersebut karena kita sendiri merupakan putera-puteri lokal, maka akan semakin timbul semangat membangun yang tinggi berlandaskan pada prinsip-prinsip kerakyatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun