Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengabaikan Kekuatan Pembuktian Pengakuan Tersangka dalam Kasus Kopi Maut

7 Februari 2016   10:38 Diperbarui: 7 Februari 2016   11:24 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam suatu kasus tindak pidana yang sedang dalam masuk tahap penyelidikan, penyidikan hingga persidangan di Pengadilan terkadang publik sangat menantikan keluarnya statement dari tersangka atau terdakwa tindak pidana yang materinya memuat tentang pengakuan bahwa ia benar-benar telah melakukan atau terlibat dalam suatu perbuatan pidana tersebut, sehingga menambah keyakinan bagi penegak hukum untuk bisa memberikan sanksi yang setimpal bagi dirinya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Meskipun pengakuan dari mulut pelaku itu bisa saja terjadi, namun terkadang ada juga kasus atau kejadian yang kondisinya memaksa tersangka untuk tidak mengakui apa yang telah ia lakukan bahkan sampai putusan pengadilan telah jatuh kepadanya. Dalam kondisi semacam ini, kemudian muncul keraguan dari sebagian masyarakat yang menganggap aparat mungkin telah salah menetapkan tersangka atau menghukum seseorang karena di dalamnya terdapat suatu perasaan tidak yakin dengan wujud nihilnya pengakuan dari tersangka.

Saat menemui keadaan semacam ini, penyidik kepolisian, Jaksa, hingga Majelis Hakim dituntut beradu intelektual dengan pelaku, karena dengan tidak ditemukannya pengakuan tersangka tersebut, maka penegak hukum wajib hukumnya untuk bisa membuktikan dengan cara lain yang memiliki kekuatan pembuktian lebih kuat sesuai dengan KUHAP dan KUHP, baik itu melalui pencarian alat bukti maupun mengumpulkan keterangan saksi yang melihat atau menyaksikan kejadian tindak pidana yang sedang diinvestigasi.

Masyarakat sebagai kontrol sistem hukum di Indonesia juga perlu bertindak pintar dalam menyikapi kasus pidana yang pelik, demi menghindari kekosongan hukum yang diakibatkan karena aparat tidak mampu menemukan siapa yang benar, serta siapa yang salah.

Bertindak pintar dalam konteks ini berarti jangan asal mempunyai asumsi, bahwa seorang tersangka yang tidak mengakui perbuatannya berarti memang dia tidak bersalah, karena bisa saja sikap pelaku pidana yang seperti itu sengaja ia lakukan untuk memberikan sebuah pemikiran dan logika terbalik kepada rakyat, guna mencari dukungan dan persetujuan bahwa tindakan penetapan tersangka ataupun penangkapan yang dilakukan terhadapnya adalah salah sasaran sehingga kemudian ingin memberikan doktrin kepolisian tidak becus dalam bekerja.

Dugaan tindak pidana pembunuhan berencana dengan menggunakan racun sianida dalam kopi saat ini sedang menjadi perhatian publik di tanah air, Kepolisian telah resmi menetapkan sekaligus menahan tersangka yang berinisial ‘J’, namun ada beberapa kerisauan yang muncul karena meskipun sudah beberapa hari dilakukan penahanan, terduga pelaku tetap bersikukuh membantah tuduhan bahwa ia adalah pelaku pembunuhan tersebut. Akibat dari dinamika yang terjadi, kemudian banyak perang argumentasi antar para ahli, dan masyarakat, sebagian menilai Kepolisian salah menetapkan tersangka, namun ada juga yang memberikan jempol atas kinerja POLRI mengungkap kasus ini, lantas demi meyakinkan publik, Jaksa, serta Pengadilan saat seluruh berkas telah P21, Polisi berusaha keras untuk memperbanyak alat bukti tambahan yang lebih kuat berupa keterangan saksi maupun yang lainnya dengan mengesampingkan pengakuan tersangka.

Hukum pidana mengenal teori conditio sine qua non yang berarti setiap akibat dapat ditentukan sebab-sebabnya dan masing-masing sebab mempunyai pengaruh terhadap terjadinya suatu akibat. Pasal 189 KUHAP Ayat (4) ‘Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain’ memberikan penjelasan bahwa keterangan terdakwa atau pelaku memang masuk sebagai kategori alat bukti, namun tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna volledig bewijs kracht, maupun menentukan beslissende bewijs kracht, sehingga tidak bisa menjadi tujuan atau pedoman bersalah atau tidaknya seseorang, serta bukan utama bagi penegak hukum untuk mengungkap suatu kasus pidana menjadi terang.

Dasar hukum yang saya beberkan di atas memberikan gambaran jelas bahwa pada dasarnya keterangan seorang pelaku tentang ia melakukan atau tidak melakukan tindak pidana bukan merupakan hal terpenting dalam sebuah pengungkapan kasus, karena apabila penegak hukum sudah mampu menemukan alat bukti lainnya dan fakta-fakta yang mendukung terjadinya suatu akibat serta mempunyai kekuatan lebih kuat, maka niscaya Pengadilan pun akan menjatuhkan sanksi hukuman sesuai dengan perbuatannya, bahkan ancaman hukuman bisa menjadi lebih berat apabila nantinya terdakwa tetap tidak mengakui di persidangan, meskipun bukti-bukti sudah jelas, sehingga Majelis Hakim bisa menyatakan terdakwa tidak kooperatif menjalani proses peradilan terhadap dirinya. Kebenaran yang sempurna adalah penegakan hukum tegas dan adil seperti yang tersirat dalam sebuah asas bernama fiat justitia ruat caelum, sekalipun esok langit akan runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun