Namun lagi-lagi, ia bukanlah jawaban yang tepat bagi Abramovich untuk mewujudkan keinginannya menjadi raja di Liga Champions Eropa. Don Carlettoakhirnya harus merasakan pahitnya pemecatan pada tahun 2011. Chelsea baru benar-benar merasakan juara Liga Champions setelah mengandaskan Bayern Munich di partai final melalui adu tos-tosan dengan skor 3-4 di tahun 2012. Kesuksesan itu datang bagaikan keajaiban karena perjalanan the blues waktu itu tidak bisa dibilang mudah. Mereka sebelumnya harus melewati kesebelasan langganan juara, Barcelona dengan gaya tiki-taka yang seakan sulit dihentikan oleh tim manapun.Â
Tidak berhenti sampai disitu, seusai menumbangkan klub Catalan, John Terry dan kawan-kawan kala itu dipaksa bermain di kandang lawan pada partai puncak, karena pertandingan dilaksanakan di Allianz Arena, dan siempunya yang sekaligus penantang Chelsea ialah Bayern Munich.
Adalah Roberto Di Matteo, sosok yang sukses memenuhi hasrat prestasi Roman Abramovich di kasta Eropa. Ia merupakan legenda Chelsea di era 1996 hingga 2002. Awalnya banyak orang mengira bahwa penunjukan Di Matteo hanya bersifat sementara seusai pemecatan Andre Villas Boas pada musim 2012. Apalagi saat itu, pria Italia ini merupakan asisten Villas Boas, maka tidak mengherankan jika perekrutan dirinya diprediksi tidak akan berjalan secara permanen, karena petinggi klub belum menemukan sosok lain yang tepat untuk ditunjuk sebagai pelatih.Â
Tetapi justru spekulasi tersebut membuahkan perjalanan yang tidak terduga, Chelsea sukses memenangi Piala FA dan Liga Champions. Pria yang juga pernah menangani West Bromwich Albion ini dianggap membawa gaya baru bagi permainan Chelsea. Keberhasilannya memaksimalkan kekuatan pertahanan the bluesdengan sebutan taktik "parkir bus" menjadi kunci utama menghentikan kreatifitas pemain-pemain Barcelona menambah agregat gol, yang akhirnya  menghentikan langkah Carles Puyol dan kawan-kawan di semi final Liga Champions 2012 dan mengantarkan Chelsea menuju singgasana untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Jabatan Roberto Di Matteo sebagai manajer akhirnya dipatenkan oleh manajemen. Tetapi sayang, kisah manis itu tidak berlangsung lama, setelah di musim berikutnya Abramovich menilai mantan legenda Chelsea tersebut gagal mengulang masa emas. Ketidaksabaran pemilik klub akan hadirnya tambahan trofi membuat kontrak 2 tahun yang sudah disodorkan kepada Di Matteo harus diselesaikan lebih singkat. Semenjak saat itu, Roman Abramovich seakan ingin bernostalgia dengan "teman lama" yang pernah membawanya merasakan sensasi memiliki klub berstatus juara Liga Primer Inggris, Jose Mourinho.Â
Manajer kontroversial ini kembali ke Stamford Bridge untuk yang kedua kalinya pada musim 2013/2014, meskipun saat itu hanya mampu mengantarkan anak asuhannya finish di peringkat ke 3. Hasil tangan dingin the special one baru terlihat di musim selanjutnya dengan raihan Piala Liga dan Liga Inggris 2014/2015. Secara keseluruhan manajer asal Portugal ini sudah mempersembahkan Sembilan gelar untuk Chelsea sekaligus mendapatkan predikat sebagai pelatih tersukses sepanjang sejarah klub.
Sayangnya, Abramovich menutup mata dengan kenyataan tersebut setelah timnya kembali terseok-seok ketika menjalani musim 2015/2016. Seperti yang sudah-sudah, pria Portugal ini merasakan ditendang dari Chelsea untuk yang kedua kalinya. Mendatangkan Guus Hiddink dua kali sebagai manajer interim ternyata juga bukan pilihan terbaik bagi sang raja minyak Rusia tersebut. Kepincut dengan kesuksesan Juventus dan Timnas Italia, Abramovich akhirnya mendatangkan Antonio Conte. Keputusan itu membuahkan hasil berupa gelar Liga Primer Inggris di musim perdana Conte membesut Chelsea pada 2016/2017.
Antonio Conte datang ke London dengan membawa karakternya, ia sukses membuat perubahan dalam skema permainan the blues. Sosok yang identik dengan gaya meledak-ledak ketika di pinggir lapangan itu nekat memainkan pola 3-4-3 yang sebelumnya tidak familiar bagi pemain yang berlaga di Liga Inggris. Awalnya strategi Antonio Conte diragukan karena dianggap kurang cocok dengan gaya Liga Inggris yang cepat dan mengandalkan kekuatan fisik tinggi atau kick and rush. Sedangkan di Italia jauh lebih lambat, selain itu sepakbola negeri pizza juga mengutamakan skema bertahan.Â
Tetapi ternyata gaya yang dibawa Antonio Conte bukan sekedar pola 3 bek kuno yang biasa diterapkan pada sepakbola Italia. Nyatanya legenda Juventus itu mampu mengkombinasikan kecepatan Liga Inggris dalam menyerang dan kekuatan pemain bertahan yang dimilikinnya, alhasil muncul sebutan "tikitalia" yang diusung Conte. Istilah tersebut mengadopsi gaya bermain tiki-taka khas Spanyol.Â
Perbedaannya ialah, selain mengusung permainan menyerang dan cepat dengan umpan dari kaki ke kaki, tikitalia punya sumber kekuatan lain, yakni pertahanan yang sulit ditembus oleh penyerang lawan. Itulah yang sudah diterapkan oleh Antonio Conte di Juventus, Italia, dan sekarang Chelsea.
Daniele De Rossi, mantan anak asuh Conte di Italia pernah mengungkapkan perbandingan antara tiki taka yang dimiliki oleh Spanyol dan tikitalia yang diusung oleh Antonio Conte. "Tikitalia adalah sebuah nama yang lucu, sebenarnya lebih cocok untuk Spanyol, dengan apa yang sudah mereka lakukan dalam beberapa tahun terakhir," ujar sang pemain dikutip dari laman resmi FIFA. "Mereka mempunyai lebih banyak penguasaan bola dan mereka semua ada pemain berkualitas, perbedaannya, kami punya sumber kekuatan lain dalam bentuk pertahanan yang baik dan penyerang yang eksplosif," tambah pemain 34 tahun tersebut.