Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Konvensional yang Hampir Punah Itu Bernama Televisi

13 Februari 2016   15:21 Diperbarui: 13 Februari 2016   15:47 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman sekarang adalah masa di mana segala perkembangan yang ada di dunia ini mengalami laju yang cukup membabi buta hingga seakan-akan mengalahkan keberadaan manusianya sendiri sebagai makhluk tuhan yang paling sempurna. Saking gilanya perkembangan sebuah jaman, peradaban manusia dituntut lebih pintar dari alat yang mereka ciptakan sendiri. Sebenarnya hal ini menjadi sebuah kenyataan yang sangat ironis, karena banyak seseorang yang cukup pandai di dunia ini, kemudian menciptakan sebuah penemuan baru khususnya di bidang teknologi yang akan menjadi bahasan saya pada edisi ini, tapi lantas penemuan tersebut bagaikan senjata makan tuan karena hasilnya justru lebih pintar dari manusianya itu sendiri. Berbicara mengenai teknologi memang tidak akan ada habisnya, apalagi jika kita sebagai pemakai berusaha untuk memenuhi hasrat menggunakan segala produk keluaran terbaru yang didukung dengan kecanggihan dan selera khas perfeksionis. Sehingga muncul lelucon yang pernah saya temui bahwa Amerika melalui Steve Jobs sudah mempunyai Apple sebagai produk yang berguna untuk kepentingan umat banyak, Kanada cukup unggul dengan produksi Blackberrynya, Taiwan digdaya menelurkan penemuan yang berlabel Asus, sedangkan negara kita Indonesia hanya punya waktu untuk memakai itu semua.

Pada dasarnya menurut hemat saya, bangsa kita bukannya tidak mampu untuk minimal menyamai negara-negara lain yang tersohor menjadi produsen alat elektronik tertentu, tetapi ada sebuah sumber daya yang tidak dimiliki oleh Indonesia, yaitu sumber daya kemauan. Tidak akan pernah kita lupakan bahwa negara besar ini pernah punya sosok jenius, beliau adalah BJ Habibie, terbilang jenius karena mungkin dialah satu-satunya orang Indonesia yang mampu menciptakan sebuah pesawat terbang komersil, namun lagi-lagi, tidak adanya sumber daya kemauan dari pemerintah untuk mengakomodir beliau menjadi batu hambatan yang cukup besar sehingga Habibie lantas memilih untuk hijrah ke Jerman, negara dengan orang-orang asing yang lebih menghargainya sebagai seorang masterpiece dengan mahakarya yang berguna bagi kepentingan orang banyak. Baru-baru saja juga ada nama baru, seorang Kusrin yang lulusan SD tidak disangka-sangka mampu menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus menjadi pembuat televisi lokal dalam negeri asal Karanganyar, andai nama kecilnya tidak terekspose oleh media sosial, mungkin sampai sekarang dan kapanpun juga tidak akan pernah ada Presiden Republik Indonesia yang mengundangnya ke Istana Negara sebagai bentuk pemberian apresiasi atas apa yang telah ia lakukan.

Pada masa lalu hingga beberapa tahun belakangan, banyak orang yang bilang bahwa tidak bisa hidup dan semua akan terasa hampa apabila tidak ada televisi, karena perjalanan televisi untuk menjadi sebuah media sekaligus elektronik yang dikenal dan dicintai oleh manusia sebagai konsumen memang terbilang cukup panjang. Kita tentu sudah banyak mengenal berbagai macam televisi, berawal dari hitam putih, berwarna dengan layar cembung, hingga saat ini pemutakhiran perangkat pendukung televisi yang menggunakan layar datar dan full high definition display ( HD ). Mungkin di dunia ini dahulu tidak ada yang menyangka bahwa televisi yang sudah menjadi teman sehari-hari bagi manusia akan mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena pada saat itu selain didukung dengan produk terkemuka produsen televisi yang menyematkan kualitas teknologi pendukung nomor wahid, kualitas konten tayangannya pun cukup mendapatkan grade A karena sangat menghibur dan mendidik, beda hal dengan sekarang.

Namun, dulu dan sekarang adalah sebuah sejarah yang tidak adil untuk dibandingkan, apalagi jika perbandingan itu adalah tentang teknologi. Televisi di waktu saya kecil menjadi satu-satunya media yang tidak tergantikan, bahkan oleh radio yang keberadaannya terlebih dahulu populer. Untuk sekedar mengetahui berita terkini tidak akan lengkap tanpa menyaksikan liputan yang ada di dalam televisi. Produser musik pun mengakui hal yang sama, lalu apa hubungannya televisi dengan produser musik, tentu ada, karena jaman dahulu ajang pencarian bakat hanya diadakan melalui stasiun televisi dengan sistem penjurian melalui penilaian juri dan SMS dari masyarakat, produser yang akan berburu talenta-talenta muda baru di segala bidang diharuskan untuk mengamati melalui media ini karena hanya itulah yang bisa dilakukan selain dengan datang langsung ke lokasi konser apabila tidak terkendala dengan jarak dan waktu. Stigma masyarakat pada saat itu adalah, popularitas seseorang diukur dari seberapa sering ia tampil dalam sebuah segmen di acara televisi tertentu, atau seberapa banyak stasiun televisi yang mempekerjakannya sebagai pengisi acara, tidak peduli berapapun bayaran yang diterima oleh sang artis, rakyat seakan tidak peduli karena yang terpenting popularitas sama dengan penampilan.

Jangan pernah sekalipun meyamakan keadaan dahulu dengan sekarang, karena pada kenyataannya memang segala sesuatu telah berbeda 180 derajat, saya sebagai penulis tidak perlu meminta testimoni sebagian orang lain untuk ikut mengamini apa yang saya share kepada pembaca saat ini, karena memang perbedaan tersebut sudah saya rasakan sendiri sebagai pengguna televisi dan penikmat kesempurnaan teknologi yang terbungkus dala, sebuah konsol bernama smartphone, laptop, maupun tablet. Dewasa ini orang tidak perlu lagi berlomba-lomba menyalakan televisi untuk menyaksikan segala bentuk kejadian baru yang sedang terjadi di luar sana, melainkan siapa yang mempunyai akun media sosial dan aktif berselancar dalam sebuah sisi dunia lain, yaitu internet, maka ialah yang akan menjadi pemenang dan lebih cepat mendapatkan update. Terkadang memang berita apapun yang kita temukan melalui internet jauh lebih cepat dari liputan yang dilaksanakan oleh stasiun televisi sebagai sebuah media konvensional. Maka tidak heran apabila kini keberadaan sebuah perangkat televisi di rumah bukan lagi merupakan sebuah keharusan bagi penghuninnya dibandingkan dengan kuota internet dan smartphone. Penyanyi-penyanyi baru yang beredar di stasiun televisi saat ini tidak berasal dari mereka yang ikut ajang pencarian bakat kemudian menjadi juara, namun merekalah yang memberanikan diri untuk memposting bakatnya melalui Youtube dan diendus dengan baik oleh produser musik yang cukup haus menantikan hadirnya seorang rising star di blantika musik Indonesia.

Grup band Endank Soekamti merupakan bukti nyata bahwa zaman sekarang tidak selamanya popularitas dilahirkan melalui televisi, tetapi menggunakan kecepatan internet sebagai sebuah ujung tombak andalan. Saya sengaja menggunakan contoh grup band Endank Soekamti karena apa yang ditawarkan oleh musisi asal Yogyakarta ini sangat kreatif, imajinatif dan menarik sekali, terutama bagi kita semua yang haus hiburan setelah hilangnya program televisi yang berkualitas dari peredaran. Bagi pembaca yang belum memahami maksud saya di paragraf ini, mungkin tidak ada salahnya apabila terlebih dahulu memyaksikan sebuah tayangan inspiratif dari mereka dengan membuka www.youtube.com kemudian search video DOES dan juga Channel resmi Endank Soekamti. Jauh sebelum menyaksikan produk kreatifitas mereka, saya akui bahwa diri saya bukanlah seorang Kamtis ( julukan bagi penggemar Endank Soekamti ), bahkan saya pikir grup band ini merupakan sekelompok perempuan yang sedang bermain musik, tapi setelah membuka link di atas, apa yang saya bayangkan justru jauh panggang dari api. Mereka semua merupakan pria-pria kreatif yang mengkolaborasikan musik dengan produk kreatif lainnya dalam bentuk  video, merchandise, fotografi, dan lain-lain yang kemudian semua itu mampu menjadi sebuah amunisi untuk meraih hal penting yang diinginkan oleh seniman pada umumnya, yakni apresiasi. Karena bagi Endank Soekamti, popularitas akan hadir dengan sendirinya jika sudah ada apresiasi yang diberikan oleh penonton kepada seorang masterpiece seperti mereka. Bukti nyata itu semakin ada ketika grup band yang beranggotakan Ari, Erik, dan Dori ini terbilang cukup jarang tampil live di televisi, tetapi justru popularitasnya tetap meningkat hasil dari apresiasi dari para fans atas jerih payah kreatifitas yang sudah mereka telurkan melalui berbagai macam bentuk produk.

Penyebab lain dari semakin banyaknya orang yang lebih suka menghabiskan waktu di depan layar laptop, smartphone, atau tablet dibandingkan dengan duduk manis menatap televisi adalah tidak terbatasnya jam tayang dan jenis tayangan yang bisa dipilih sesuka hati oleh penggunanya, sehingga sangat cocok bagi siapapun yang terbiasa dengan kesibukan di kantor setiap harinya, kemudian memanfaatkan waktu istirahat di siang hari atau malam hari untuk sekedar menghabiskan sedikit waktu longgar menyaksikan tayangan-tayangan yang diberikan melalui dunia maya, dengan singkat kata, dunia internet memberikan semuanya tanpa lekang oleh waktu sedikitpun

Apa yang telah dilakukan oleh Endank Soekamti bisa saja ditiru oleh pesohor lainnya di negeri ini dengan memanfaatkan konten internet untuk menciptakan bentuk-bentuk kreatifitas yang baru serta lebih inovatif. Tetapi ada baiknya bagi pembaca untuk tidak salah paham, karena tulisan ini bukan sengaja saya share untuk mendoktrin rekan-rekan agar menjauhi televisi, tetapi saya hanya berusaha memberikan sebuah pembelajaran dan alternatif bagi kita semua bahwa sudah ada teknologi dan media lain yang jauh lebih efektif menjadi jalan keluar jika kita ingin mencari program tayangan yang konsisten memberikan kualitas, hiburan dan pendidikan bagi para penontonnya, teknologi itu bernama internet, dengan media pendukung yang akrab disebut sebagai media sosial, dan mungkin tidak akan lama lagi kedua pendatang baru di peradaban manusia ini akan melumpuhkan hegemoni media konvensional bernama televisi.

BJ Habibie mungkin hanya kurang beruntung karena pada masanya saat itu hanya ada media televisi yang bisa menjadi arena beliau untuk memperkenalkan mahakaryanya di depan masyarakat, Kusrin juga dengan keluguannya belum sempat berfikir luas untuk mempublikasikan televisi ciptaannya di depan banyak mata melalui internet, tapi dia cukup beruntung karena justru teknologi ini yang menghampirinya untuk menjemput apresiasi dari berbagai kalangan di negara ini. Pelajaran yang bisa kita ambil adalah, saat kita berkarya, maka mari kita manfaatkan secara maksimal dan positif segala kelebihan yang dilahirkan dari perkembangan dunia untuk menopang potensi yang kita miliki, jika kita hanya memilih sebagai penonton, maka marilah secara bijak untuk menyaksikan tayangan yang memberikan kualitas, hiburan dan pembelajaran secara positif, agar energi itu juga bisa kita tularkan kepada anak cucu nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun