Untuk menghindari mimpi buruk itu, Indonesia dan Thailand seperti tidak serius menjalani pertandingan terakhir mereka, karena hanya mengincar posisi runner up grup dengan tujuan agar tidak berjumpa dengan Vietnam. Skor yang masih berjalan imbang 2-2 membuat mayoritas para pemain tim nasional merah putih kesal karena imbang saja tidak cukup untuk membawa mereka pada runner up klasemen, dengan tujuan mengalah, akhirnya bek timnas Mursyid Effendi nekat memasukkan bola ke gawang sendiri dan skor akhir adalah 3-2 untuk kemenangan Thailand.
Di babak semifinal pun ternyata Indonesia harus dipaksa mengakui keunggulan Singapura yang saat itu diprediksi akan menjadi bulan-bulanan Indonesia, hal tersebut seakan menjadi karma bagi pelaku sepakbola yang terlibat saat itu karena di hasil akhir turnamen justru Singapura menjadi yang terbaik alias juara piala Tiger 1998. Sejak kasus tersebut kemudian publik menjuluki sebagai parodi sepakbola gajah, karena para pemain yang bertanding kala itu bagaikan seekor gajah yang tidak tau mana gawang lawan dan mana gawang kawan.
Aib besar yang cukup menghancurkan harga diri bangsa membuat ketua PSSI kala itu, Azwar Anas mengundurkan diri dari kursi kepemimpinan di induk sepakbola Indonesia. FIFA juga memberikan sanksi disiplin bagi negara kita dengan denda sebesar 40 ribu dollar AS. Sebenarnya berapapun uang denda yang harus dibayarkan bukanlah sebuah masalah, karena yang jauh lebih penting dari sekedar kerugian materi saat itu adalah harga diri dan citra bangsa di mata dunia yang dianggap cukup murah karena rela dipermalukan oleh pemain yang mewakili negara di lapangan.
           Selain di level internasional, Indonesia lagi-lagi juga mendapatkan malu yang sama saat pengaturan skor membelenggu pada liga nasional yakni kompetisi divisi utama tahun 2014 yang lalu. Awal kisah PSS Sleman bertanding menghadapi PSIS Semarang pada babak 8 besar divisi utama 2014 pada tanggal 26 Oktober, dengan tujuan lagi-lagi untuk menghindari tim yang jauh lebih kuat ( saat itu Borneo FC ) di partai selanjutnya, kedua kesebelasan mencetak 5 gol bunuh diri ke gawangnya masing-masing dengan skor akhir 3-2 untuk kemenangan tuan rumah PSS Sleman.
Selanjutnya di internal PSSI mencium aroma keterlibatan mafia sepakbola yang mewarnai kompetisi pada waktu itu, sehingga diputuskan untuk memberikan sanksi berupa pencoretan kesebelasan PSS Sleman dan PSIS Semarang dari Divisi Utama 2014, Padahal langkah tinggal sedikit lagi untuk bisa memenuhi mimpi promosi ke liga tertinggi nasional, ISL.
Tragedi tersebut kemudian membuat pemerintah nekat melakukan investigasi besar-besaran yang menurut saya salah langkah, karena melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga, surat pembekuan untuk PSSI terbit dan menyatakan bahwa ada mosi tidak percaya terhadap kepengurusan PSSI kala itu yang dinilai sarat akan keberadaan mafia. Menpora Imam Nachrawi memberikan komentar bahwa langkahnya membekukan PSSI adalah untuk kepentingan investigasi kasus pengaturan skor yang disinyalir tidak hanya melibatkan football familly, tapi juga pihak lain di luar pelaku sepakbola dan ada potensi tindak pidana di dalamnya.
Nah, disini saya berani menilai bahwa tindakan Menpora merupakan hal yang salah kaprah, karena pada point yang sudah saya jelaskan di atas tentang FIFA, bahwa negara boleh hadir untuk membantu PSSI melakukan penyidikan, penyelidikan kasus pengaturan skor dan itu semua tidak dianggap sebagai intervensi karena FIFA sendiri menggandeng interpol dan elemen-elemen lain untuk mengusut tuntas kasus yang sama dalam sepakbola tingkat internasional. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika Menpora memutuskan membekukan PSSI dan mengambil alih organisasi dengan tim transisi bentukan pemerintah, ini merupakan sebuah intervensi dan pada akhirnya melahirkan sanksi dari FIFA kepada Indonesia dan melarang seluruh aktivitas sepakbola Indonesia di level internasional sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
           Hingga tulisan ini saya buat, kinerja tim transisi yang digadang-gadang akan memberikan revolusi bagi sepakbola merah putih masih abu-abu, bahkan seakan-akan hanya berjalan di tempat tanpa program serta visi misi yang jelas. Karena penyelesaian kasus sepakbola gajah, baik yang menimpa timnas pada 1998, maupun kompetisi nasional 2014 yang lalu lagi-lagi hanya menelurkan sanksi disiplin bagi para pesepakbola dan official tim.
Sanksi semacam pelarangan berkecimpung di sepakbola dalam kurun waktu yang telah ditentukan, denda, hingga degradasi merupakan hal basi bagi publik tanah air, karena bukan itu yang kita cari, melainkan pengungkapan kasus secara besar-besaran yang kemudian bermuara pada tuntutan pidana beserta sanksinya oleh negara kepada pelaku pengaturan skor yang telah memenuhi 2 alat bukti atau lebih setelah melalui proses investigasi yang mendalam. Karena harus kita akui bahwa satu-satunya efek jera yang cukup ampuh bagi pelaku tindak pidana adalah pemberian sanksi pidana sesuai dengan hukum perundang-undangan di Indonesia.
Aparat penegak hukum Indonesia masih terkesan setengah hati dalam menerapkan tindakan tegas yang sesuai dengan hukum positif terhadap para pelaku pengaturan skor baik kepada mereka yang berada dalam lingkaran football familly ( pelaku sepakbola ) maupun para mafia di luar lingkup olahragawan. Seperti di Italia pada saat terjadi kasus yang sama dan dikenal dengan istilah calciopoli pada negara tersebut, FIGC sebagai induk sepakbola Italia tidak berhenti dengan hanya memberikan hukuman berupa sanksi skorsing, denda atau degradasi semata, namun mereka juga mempersilahkan aparat penegak hukum setempat untuk melakukan investigasi seluas-luasnya dengan serangkaian proseses penyidikan, penyelidikan, hingga penuntutan bagi para pelaku yang diduga melakukan tindak pidana tersebut.
Jika ada yang terbukti melakukan dan memenuhi unsur pidananya, serta ditemukan alat bukti yang sah dan meyakinkan, otoritas hukum setempat tidak segan-segan menjerat dengan hukuman kurungan sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negeri pizza. Beberapa nama besar sukses menjadi tangkapan kelas kakap aparat untuk investigasi kasus calciopoli saat itu, diantaranya adalah Paolo Dondarini dan Tullio Lanese, keduanya merupakan mantan wasit di kancah persepakbolaan Italia yang mendapatkan sanksi pidana penjara masing-masing 3 tahun dan 2 tahun untuk nama terakhir yang penulis sebutkan.