Malam ini pun, saya langsung ber-SMS ke kepala Dikpora. "Bapak, sedih mendengar cerita Romkisar. Kenapa tdk ada guru yg dikirimkan ke sana utk menggantikan guru2 SM3T yang bertugas di Romkisar? Saya dengar sekolah tutup karena tdk ada guru? Mohon, bapak, ada perhatian utk SDN Romkisar. Terima kasih."
Saya tidak tahu entah kapan SMS saya akan dibaca dan dibalas. Besok saya akan mencoba menghubungi pak kadis via telepon. Meski keterbatasan sinyal telepon di MBD membuat hati saya ciut, tapi saya akan tetap berusaha. Saya juga berkoordinasi dengan Bapen (bapak pendeta) Abraham Beresaby melalui FB message meski beliau jelas-jelas tidak sedang online. Tapi saya berharap, SMS saya ke kadis dan message saya ke bapen, entah besok, entah lusa, akan terbaca oleh beliau-beliau, dan semoga segera ditanggapi. Tentu saja, yang saya harapkan, semoga ada jalan keluar untuk Romkisar.
Malam ini saya tidak bersemangat untuk ngapa-ngapain. Tumpukan berkas skripsi dan tesis mahasiswa tidak saya sentuh sama sekali. Tak berselera. Wajah Romlah dan kawan-kawan berkelebat-kelebat di kepala saya. Senyum anak-anak sekolah berkulit hitam yang terpampang di status FB Vina serasa mengiris-iris ulu hati. Sekolah tutup karena guru tidak ada. Anak-anak seperti itik kehilangan induk. Seperti layang-layang yang putus talinya. Tak punya siapa-siapa lagi untuk sekedar mengajari menulis dan membaca. Adakah yang lebih menyedihkan dari ini semua?
Seperti inikah potret pendidikan di MBD, dan juga di banyak tempat lain di Indonesia ini? Setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka? Betapa memprihatinkan.
Duka saya untuk Romkisar. Duka kami semua untuk dunia pendidikan.
Surabaya, dini hari, 12 Oktober 2013.
Wassalam,
LN
http://www.luthfiyah.com/2013/10/duka-untuk-romkisar.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H