Mohon tunggu...
Luthfi Wildani
Luthfi Wildani Mohon Tunggu... Penulis - Pecinta Hikmah dan Kebenaran

I'm Just The Ordinary Man and Thirsty Knowledge

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Peradaban Islam, Antara Prioritas Dan Rivalitas

18 Oktober 2014   20:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:32 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pasca runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan perang saudara, maka peradaban Islam yang selalu digaungkan oleh pemerintahan Islam otomatis runtuh pula. Bahkan pada waktu itu Turki dijuluki oleh dunia sebagai the sick man. Ditambah lagi, setelah Turki diambil alih oleh Mustafa Kemal Attaturk, maka negara Turki yang awalnya negara Islam diubah 180 derajat menjadi negara seratus persen sekuler. Yang tersisa hanyalah puing-puing peradaban yang berserakan di negara-negara Islam maupun negara yang mayoritas muslim. Oleh karena itu, Barat mengambil alih peradaban dunia dan manusia, dan sejak renaissance (revolusi industri) yang terjadi di eropa pada sekitar abad ke 18, maka Barat khususnya eropa mulai menunjukkan ‘taringnya’. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai penemuan dan ciptaan-ciptaan baru hasil karya manusia yang sangat monumental dan abadi hingga kini. Penemuan-penemuan baru itulah yang akhirnya menjadikan peradaban Barat semakin meng-hegemoni dan menjadi mainstream di belahan dunia, termasuk dunia Islam.

Kini, peradaban barat sedang diatas angin, yang mungkin peradaban mereka akan langgeng dan berlangsung lama jika kita sebagai muslim tidak ‘bangun’ dari tidur lelap yang sangat mengasyikkan. Kita terlalu dimanjakan oleh berbagai teknologi hasil besutan orang-orang Barat, dan kita sudah terlena untuk menjadi konsumen sejati yang membuat kita lupa bahwa ternyata secara tidak langsung kita hidup di bawah ketergantungan dan bayang-bayang Barat. Kita tidak cepat-cepat untuk ‘bangun’ dan memulai strategi untuk segera mengejar ketertinggalan yang semakin jauh untuk kita kejar kalau tidak dimulai dari sekarang. Minimal kita harus menjadi produsen sebuah produk supaya sedikit demi sedikit ketergantungan kita kepada produk-produk Barat akan terlepas dengan sendirinya.

Dalam konteks kekinian, para ekstrimis Islam yang tidak terima dengan hegemoni peradaban Barat melakukan sebuah perlawanan hampir di seluruh belahan dunia Islam. Seperti di Afrika, ada sebuah kelompok ekstrimis Islam yang bernama Boko Haram, artinya pendidikan Barat haram. Di Irak dan Suriah ada kelompok ekstrimis Islam yang bernama Islamic State of islam and Syam (ISIS) yang ingin mendirikan sebuah Negara dan Kekhalifahan Islam menurut versi mereka. Di Afghanistan dan Pakistan ada kelompok ekstrimis Islam yang bernama Taliban dan al Qaeda yang tujuan mereka hanya ingin menghancurkan Amerika beserta sekutu-sekutunya dan antek-anteknya. Dan masih banyak lagi kelompok-kelompok ekstrimis Islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Menurut hemat penulis, mereka melakukan seperti itu karena timbul sebuah kekecewaan yang amat mendalam kepada Negara-negara Islam serta saudara-saudara muslim di berbagai belahan dunia yang tidak mempedulikan nasib para saudara muslim kita yang sedang diinvasi dan diintervensi oleh pihak Barat dalam hal ini Amerika dan sekutu-sekutunya untuk diambil alih serta harus mengikuti apa kemauan mereka. Oleh karena itu, muncullah gerakan-gerekan ekstrim yang mengatasnamakan Islam dan untuk kepentingan Islam. Sebenarnya tujuan mereka baik, tapi cara merekalah yang salah dalam menyikapi hegemoni dan intervensi Barat.

Nah, kemudian muncul pertanyaan besar dalam benak kita, bagaimana caranya membangun kembali peradaban Islam? Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan bahwa sebuah peradaban umat manusia itu merupakan sebuah siklus, artinya akan terjadi sebuah pergantian dan itu akan selalu berulang. Peradaban Islam dahulu pernah menguasai dunia berabad-abad lamanya, yang ditandai dengan munculnya berbagai penemuan-penemuan baru dalam berbagai bidang dan ilmuwan-ilmuwan Islam yang sampai sekarang sejarah masih mencatatnya sebagai zaman keemasan Islam. Maka seiring berjalannya waktu, umat Islam terlalu terlena dengan gemerlapnya dunia dan saling berebut kekuasaan antar saudara, dinasti dan kerajaan. Disinilah letak kebenaran teori Ibnu Khaldun, bahwa Baratlah yang sekarang memegang kendali kekuasaan dan peradaban dunia.

Salah seorang ilmuwan Yahudi pernah berkata, “untuk menguasai peradaban dunia gunakanlah strategi perang tanpa perang, yaitu dengan menghancurkan dunia pendidikannya”. Hal ini terbukti bahwa peradaban Barat sekarang sudah berhasil menghancurkan dunia pendidikan Islam dengan men-dikotomi-kan antara ilmu agama dan ilmu umum. Padahal zaman dahulu ilmu agama dan ilmu umum menjadi satu, tidak ada bedanya, semua sama-sama penting untuk dipelajari. Sehingga muncullah sebuah pernyataan dari sebagian saudara muslim kita bahwa “ngapain belajar ilmu umum, toh ndak dibawa mati kan, ilmu umum itu ilmu dunia, tidak bisa mengantarkan kita ke akhirat, maka pelajarilah ilmu akhirat (agama) saja, yang bisa mengantarkan kita ke surga”. Pernyataan seperti ini tentu sangat tidak patut untuk diucapkan oleh seorang muslim, karena seolah-olah menurut mereka surga hanya dimiliki oleh mereka yang hanya belajar ilmu akhirat (agama) saja. Tentu hal ini tidak lepas dari keberhasilan dari sebuah peradaban Barat yang mengkotak-kotakan sebuah disiplin ilmu.

Dari sinilah awal kemerosotan dan kemunduran umat Islam , tradisi intelektual dan keilmuan umat Islam dipreteli satu per satu. Padahal, jika kita bisa berpikir jernih, maka orang yang belajar matematika, fisika, biologi, kimia, dan ilmu-ilmu umum lainnya sama derajatnya sama orang yang belajar ilmu tauhid, hadits, tafsir, fiqih, dan ilmu-ilmu agama yang lain jika tujuannya untuk kemaslahatan umat Islam dan seluruh penduduk bumi. Hal ini pernah dibuktikan oleh para ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti Ibnu Khaldun yang tersohor dengan kitab Muqaddimah-nya. Beliau merupakan salah satu tokoh Islam yang memiliki ilmu pengetahuan multidisipliner. Beliau ahli dalam bidang sosiologi, filsafat, ekonomi, politik, dan budaya. Disamping itu beliau juga ahli dalam ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu hadits, fiqih, ushul fiqih, dan lainnya.

Maka dari premis-premis diatas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya peradaban Islam itu dibangun diatas ilmu pengetahuan, bukan diatas dominasi kekuasaan. Peradaban Islam yang pernah berjaya berabad-abad pada zaman dahulu itu, disebabkan karena berkembangnya ilmu pengetahuan secara terstruktur, sistematis, masif, dan dinamis.

Dalam konteks keindonesiaan, kebangkitan peradaban Islam belum menjadi semangat bersama kaum muslimin, karena kita selalu disibukkan oleh hal-hal yang sifatnya bukan prioritas, tapi lebih kepada rivalitas. Kita semua tahu, bahwa di Negara tercinta kita ini, ada banyak sekali ‘aliran’ agama Islam yang terkotak-kotakan dalam bingkai ormas Islam. Dimana atmosfir rivalitas diantara para ormas itu sangat kentara sekali. Diantaranya masalah-masalah furu’ (cabang) yang selalu mereka perdebatkan tanpa kenal lelah, padahal perdebatan itu sudah pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, baik itu dalam segi aqidah yang dahulu sudah pernah diperdebatkan oleh para ulama mutakallimin (ahli ilmu kalam), maupun dalam bidang fiqih yang sudah dibahas secara panjang lebar oleh para imam madzhab dengan kedalaman ilmu agamanya. Kalau kita terus menerus seperti ini, maka ilmu pengetahuan akan bersifat statis, karena kita selalu mengulang-ngulang apa yang sudah diperdebatkan oleh ulama terdahulu. Padahal, perdebatan ulama terdahulu sudah bersifat final. Kita hanya bisa memillih diantara pendapat mereka yang sudah di-elaborasi secara mendalam.

Sekarang yang harus kita lakukan sebagai umat muslim adalah bagaimana diskursus-diskursus yang sifatnya kontemporer dan segera butuh jawaban serta untuk kemaslahatan orang banyak, kita diskusikan bersama dan mencari solusi dengan arif dan bijaksana. Karena kita tidak bisa pungkiri, bahwa perkembangan zaman begitu cepat dan dinamis. Jika kita hanya berkutat dengan perdebatan yang tiada akhir, maka bersiap-siaplah, sejarah tidak akan mengenang dan mencatat kita, sebab sejarah hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai karya dan sumbangsih besar untuk agama, bangsa, negara, serta dunia.

Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kita harus ‘berkaca’ dan berbenah diri untuk menyongsong kembali kebangkitan peradaban Islam yang selalu digadang-gadang oleh para ulama Islam dunia bahwa peradaban Islam akan lahir kembali dari bumi pertiwi, karena diasumsikan populasi umat muslim terbesar berada di indoneisa.

Kita harus mulai fokus pada hal-hal yang sifatnya prioritas, seperti membangun kembali tradisi intelektual akademis di lingkungan umat Islam yang sekarang lagi ‘mati suri’. Membangun berbagai pusat keilmuan terpadu seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Al Makmun yang membangun baitul hikmah sebagai pusat keilmuan pada zaman itu. Hilangkanlah sedikit demi sedikit rivalitas diantara ormas Islam di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, yang akan menyebabkan perpecahan dan sektarianisme. Semoga kita selalu konsisten dan istiqomah dalam membangun jati diri umat Islam kembali di tengah-tengah gempuran westernisasi yang mengebiri dan menggerogoti hampir di semua lini kehidupan umat Islam. Wallahul Musta’an

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun