Mohon tunggu...
Luthfi
Luthfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Margonda

Menulis untuk mengasah pikiran, imajinasi, dan bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sang Teknokrat dari Selatan Sulawesi

23 Desember 2019   13:06 Diperbarui: 23 Desember 2019   13:20 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelum mengambil doktoralnya, Habibie menyempatkan pulang ke Indonesia pada 1962 untuk liburan. Saat liburan inilah Habibie mampir ke Bandung dan kebetulan bertemu kembali dengan Ainun yang telah beranjak dewasa. Habibie kaget, Ainun yang dulu pernah ia perolok dengan julukan "gula jawa" karena kulitnya yang sidikit gelap, kini dipujinya sebagai "gula pasir." Namun Habibie tidak hanya terkesan dengan kecantikan Ainun, tapi juga kecerdasannya. Karena saat makan malam bersama keluarga Besari, Habibie sempat bercerita tentang upaya mahasiswa Indonesia di Jerman untuk melakukan perubahan di tanah air. Kemudian Ainun balik bertanya, "Apa yang sudah kalian kerjakan untuk menciptakan perubahan itu?" Habibie jelas terkejut, karena belum pernah ada perempuan yang bertanya seperti itu kepadanya. Habibie teringat, bahwa ibunya pernah berpesan agar mencari pendamping yang mampu mengimbanginya. Barangkali memang Ainun lah pendamping itu, akhirnya mereka menikah di tahun yang sama (Firdausi, 2019).

Setelah menikah, Habibie kembali ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan doktoralnya. Habibie akhirnya mendapatkan doktoralnya pada 1965. Kemudian ia bekerja sebagai teknisi aeronautika di perusahaan Jerman Barat yang nantinya dimasukkan kedalam perusahaan Messerchmitt. Pada tahun 1973, ketika kontrak kerjanya di Messerchmitt akan berakhir, Habibie ditunjuk sebagai wakil presiden dan direktur teknologi perusahaan tersebut. Namun pada akhir 1973, kakak ipar Habibie, Brigjen Soebono Mantofani datang ke Jerman untuk menyampaikan kepada Habibie pesan dari Presiden Soeharto yang memanggil Habibie pulang (Wirayudha, 2019b). Pada tahun 1974, Habibie kembali ke Jakarta dan Soeharto memintanya untuk mendirikan satu industri pembangunan pesawat terbang lokal. Habibie kemudian menyanggupi permintaan tersebut, dari sinilah asal mula IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) yang kemudian melahirkan pesawat N-250.

Pada tahun 1978, Habibie diangkat menjadi menteri riset dan teknologi. Inilah kali pertama Habibie bersentuhan dengan politik, sebelum nantinya diangkat menjadi wakil presiden pada 1998. Bagi para pendukungnya, Habibie adalah seorang jenius yang memiliki impian bahwa di masa depan, Indonesia akan mampu menciptakan peralatan berteknologi tinggi. Bagi para musuhnya, Habibie merupakan pejabat yang tidak bertanggung jawab, karena menggunakan kedekatannya dengan Soeharto untuk mengucurkan uang demi proyek yang belum memiliki kepastian (M. C. Ricklefs, 2007).

Hal tersebut dapat dipahami karena Habibie adalah seseorang yang terpelajar, sehingga Habibie berpandangan bahwa teknologi, sains, dan pembangunan lebih penting dibanding politik dalam rangka pengabdian pada negara. Habibie sebenarnya tidak tertarik untuk terjun ke dalam politik, karena ia tidak melihat benefit jika ia menjadi politisi. Maka dari itu, harus diakui Habibie adalah politisi yang buruk, bahkan Habibie gagal memahami karakter Soeharto yang mengharapkan dirinya untuk mundur saat Soeharto mundur (Endah, 2010).

Habibie naik takhta pada saat Indonesia sedang penuh kemelut, yaitu saat terjadinya krisis multidimensional pada tahun 1998 yang lebih dikenal dengan nama krisis moneter. Krisis berawal dari spekulan-spekulan di Thailand, mereka berspekulasi kalau mata uang baht akan jatuh valuasinya di depan dolar AS. Karena spekulasi ini, baht kehilangan value nya dan kemudian menyebabkan ekonomi Thailand runtuh (Gumelar, 2018). Karena sistem ekonomi di Asia Tenggara tidak berbeda jauh dengan Thailand, maka investor-investor asing berbondong-bondong lari keluar membawa modal mereka. Hal ini menyebabkan sistem perbankan di negara-negara Asia Tenggara ambruk satu demi satu, tidak terkecuali Indonesia. Sebenarnya tanda-tanda adanya krisis ekonomi sudah terlihat sejak minggu kedua bulan Juli 1997, ketika kurs rupiah merosot dari Rp2.432 per dolar AS menjadi sekitar Rp3000 per dolar AS. Namun, Soeharto bergeming karena pemerintahannya hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi - yang menurut Bank Dunia-berada di tingkat rata-rata 7,8 persen.

Melihat gejala tersebut, Bank Indonesia berusaha membuat sejumlah kebijakan dengan melebarkan rentang kendali rupiah, namun krisis moneter-yang diikuti dengan semakin menipisnya tingkat kepercayaan-membuat nilai rupiah semakin sulit dikontrol. Langkah Presiden Soeharto mengundang IMF untuk meringankan krisis pada 8 Oktober tidak banyak membantu. Kebijakan pemerintah menutup 16 bank membuat pelaku usaha semakin hilang arah. Dalam memoarnya (2006), Habibie menuliskan, nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp5.097 per dolar AS. Pada 8 Januari 1998, rupiah semakin lemah menjadi Rp9.800 per dolar AS dan mencapai Rp11.050 pada akhir Januari 1998. Jatuhnya nilai rupiah ini menyebabkan sistem perbankan di Indonesia tidak dapat berfungsi dengan baik dalam waktu cukup lama, sehingga kegiatan bisnis mengalami stagnasi.

Dampak dari inflasi yang cepat ini adalah barang kebutuhan pokok mengalami hambatan distribusi dan kenaikan harga, sehingga krisis pangan tidak dapat terhindari. Macetnya perbankan kemudian berimbas pada dunia usaha dan industri, dimana perusahaan harus melakukan PHK massal demi menjamin keberlangsungan usahanya.

Di samping itu, Indonesia juga dihadapkan pada pertambahan 3,2 juta jiwa angkatan kerja baru setiap tahunnya. Mereka yang tidak tertampung dalam dunia formal akhirnya bergerak di sektor informal dengan produktivitas yang rendah. Jumlah pengangguran terbuka akibat krisis moneter, dari 4,68 juta orang pada 1997 menjadi 5,46 juta orang pada 1998. Demikian pula jumlah setengah pengangguran, meningkat dari 28,2 juta jiwa pada 1997 menjadi 32,1 juta jiwa pada 1998. Pertambahan jumlah penganggur dan setengah penganggur tersebut menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat, yang kemudian berdampak  pada pertumbuhan ekonomi negara (Habibie, 2006: 3).

Tekanan ekonomi yang drastis dalam waktu singkat otomatis menyebabkan rakyat untuk berdemo dan berbuat anarkis. Kerusuhan muncul di beberapa daerah serta menimbulkan banyak korban, baik orang maupun harta benda. Kerusuhan ini diwarnai dengan aksi-aksi kekerasan massa, perusakan, pembakaran, penjarahan, hingga tindakan asusila. Masih dalam memoarnya (2006), Habibie menuliskan kalau Pemerintah daerah Tangerang melaporkan ada lebih seratus jenazah hangus terbakar di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan mayat korban kerusuhan. Pusat penerangan ABRI melaporkan jumlah korban jiwa mencapai 500 orang. Belum lagi korban kerusuhan yang terjadi di Surakarta, Jawa Tengah dan beberapa daerah lain yang diperkirakan korban melebihi jumlah tersebut.

Melihat situasi yang semakin tidak terkontrol, Soeharto yang baru pulang dari Kairo langsung melakukan pertemuan dengan ketua DPR, yaitu Harmoko. Menurut laporan Harmoko, tuntutan reformasi dapat disimpulkan menjadi tiga hal. Pertama, perlunya melaksanakan reformasi total. Kedua, Presiden Soeharto harus mengundurkan diri. Ketiga, mendesak dilaksanakannya sidang istimewa MPR. Soeharto kemudian bertanya apakah menurut penilaian MPR/DPR Soeharto patut mundur? Jika jawabannya iya, maka ia siap untuk mundur asal dilakukan secara konstitusional. Akhirnya setelah tekanan dari mahasiswa, DPR, ABRI, dan luar negeri, Soeharto menyerah dan akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.

Akibat dari kerusuhan yang terjadi di Indonesia, terutama di Jakarta, selain macetnya roda perekonomian, keamanan nasional Indonesia juga dipertanyakan. Warga negara asing menjadi takut tinggal di Indonesia, terutama di Jakarta. Departemen luar negeri AS memerintahkan agar 8.000 warganya di Jakarta segera meninggalkan Indonesia pada Jumat, 15 mei 1998. Juru bicara kedubes AS di Jakarta mengumumkan, bila warga negara mereka tidak memperoleh kursi di penerbangan komersial, akan dibantu dicarikan alternatif transportasi. Pemerintah Jerman juga telah melarang warganya yang hendak berwisata ke Bali dan wilayah Indonesia. Larangan serupa juga dikeluarkan pemerintah Taiwan, China, Australia, dan filipina. Negara-negara tetangga sudah bisa melihat ancaman yang mengintai warganya, namun pemerintah Indonesia yang menganggap situasi dapat dikendalikan menunjukkan betapa pemerintahan Soeharto "meremehkan" kondisi yang berkembang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun