Aku memandangi meja belajarku yang penuh buku-buku dengan sepenuh hati dan perhatian, kontemplasi katanya. Lama kupandangi buku-buku itu tanpa ada niatan untuk mengambil lalu membacanya. Setelah puas dengan kegiatan yang bagi sebagian orang tanpa makna, aku melemparkan pandangan kearah jendela. Menatap langit malam yang selalu ditemani oleh kelam, "kenapa kelam tak pernah bosan hadir di setiap malam?" celetuk diriku. Tanpa sadar aku kembali berkontemplasi, memikirkan jawaban untuk pertanyaan yang baru aku tanyakan. Aku berusaha keras, namun tanpa hasil; dan memutuskan untuk beristirahat.
Esok harinya aku masih penasaran, "apakah kelam akan bersama dengan malam lagi?" tanya diriku. Lalu aku menunggu malam, waktu terasa begitu lama jika kita sedang menunggu sesuatu. Akhirnya malam tiba, aku langsung melihat ke langit malam dan menemui malam masih bersama kelam. Lalu aku berpikir untuk memastikan lagi esok malamnya, dan ternyata malam masih bersama kelam, begitu seterusnya. Hingga suatu hari, malam tampak berbeda. Memang masih ada kelam disana, tetapi ia bercahaya; tidak seperti sebagaimana kelam yang seharusnya.
Aku langsung berlari keluar kamar dan membuka pintu teras rumahku, dan langsung menengadah ke langit malam, ternyata ada purnama beserta bintang-bintang. Aku langsung terduduk di kursi teras -- terharu -- memandangi purnama ditengah kelamnya malam. Setelah puas memandangi langit aku beranjak dan bersandar di pagar teras, sekadar melihat keadaan di sekitar rumahku. Aku memperhatikan sekelilingku, namun yang kutemui hanyalah sepi, semilir angin malam, tikus-tikus yang bermain dengan riangnya -- walau ia hanyalah makhluk rendahan -- serta kucing-kucing yang tertidur lelap di teras-teras rumah.
Setelah puas melihat sekeliling, aku kembali menatap purnama. Kali ini dengan niatan untuk berbicara dengannya. "Purnama, mengapa engkau begitu indah?" Purnama hanya diam. "Purnama, mengapa engkau bisa bersinar dengan terang?" Purnama tidak menjawab. "Purnama, mengapa engkau tak bisa kuraih?" Purnama tak bergeming. Aku menghela napas, dan berbicara dengan diriku sendiri "purnama, aku hanya ingin berdialog denganmu, dibawah langit malam, ditemani segelas teh hangat dan semilir angin malam, membicarakan tentang hidup."
Namun aku sadar, bahwa hakikat purnama ialah untuk bersinar terang dengan indah; keindahan yang hanya bisa dinikmati dan diresapi. "Tapi, bukankah banyak purnama yang berjalan di muka bumi ini? Dimana mereka itu pastilah dipuja-puja." Celetuk diriku. Kembali aku menengadah menghadap purnama, dan tersenyum seraya berkata "purnama bagi banyak orang mungkin berjalan di bumi, tapi purnamaku ada diatas sana. Indah, tak tergapai."
07-12-2017, pukul 22.58
Luthfi Ferdi S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H