Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Atau dalam kata lain, pendidikan ialah usaha-usaha dalam memanusiakan manusia, pendidikan juga merupakan sebuah “lentera” dalam gelapnya kebodohan. Pendidikan pada masa penjajahan dipandang sebagai salah satu cara untuk melawan tiraninya, karena pada masa itu para rakyat inlander (pribumi) banyak yang tidak bisa membaca. Sehingga banyak rakyat pribumi hidup sengsara, karena mereka terikat kontrak yang tidak mereka tahui apa isinya. Sehingga wajarlah mulai bermunculan organisasi seperti Boedi oetomo; perseorangan seperti Tan Malaka dan Ki Hajar Dewantara; aplikasi sekolah rakyat seperti Adhi Dharmo, “sekolah Tan” dan Taman siswa.
Semua berorientasi kepada pendidikan terhapan kaum pribumi, Tan Malaka berpendapat “kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan”. Namun yang aneh, setelah merdeka dapat kita saksikan bahwa pendidikan berubah. Mungkin bagi yang lahir pada tahun 70-80an atau mendengar kisah orangtuanya tidaklah asing jika murid dilempar kapur ataupun penghapus dan bahkan digebuk guru maupun orangtua, melatih disiplin katanya. Padahal “pendisiplinan” ini adalah akar dari masalah pelik yang sekarang kita hadapi, yaitu tawuran. Jika kita jeli, ‘pendisiplinan’ ini bukanlah yang menjadi visi R.M Suwardi Suryaningrat sebagai bapak pendidikan. Beliau memang tegas, tetapi tidak galak apalagi mengajarkan kekerasan. Bahkan seorang revolusioner seperti Tan Malaka, tidak pernah mengajarkan kekerasan dalam pendidikan. Memang patut diakui, kita semua pernah atau bahkan masih bingung mana yang merupakan kekerasan dan mana yang merupakan ketegasan. Karena batas diantara keduanya adalah kabur.
Lain masa lain pula masalahnya, jika pada era orba masalahnya adalah ‘pendisiplinan’ yang dianggap wajar. Maka di era globalisasi masalah yang timbul adalah, 'munculnya para ahli pendidikan'. Iya, kita tidak salah baca 'para ahli pendidikan' yaitu 'para ahli' yang biasa muncul di media sosial ketika ada sebuah artikel atau berita yang menyangkut tentang masalah pendidikan. Yang selalu mempersalahkan atau mungkin mempertanyakan untuk siapa pendidikan? Atau pendidikan Indonesia tidak memperhatikan para anak-anak!
Anehnya, tidak sedikit dari 'para ahli pendidikan' ini yang justru sering bolos, tugas tidak selesai tepat waktu, tidak menghormati guru, dll. 'Para ahli pendidikan' ini juga sering melemparkan pernyataan klasik "Di sebuah hutan ada seekor singa si raja hutan yang sudah tua, karena sang singa sudah tua maka ia mengumpulkan para penduduk hutan untuk menggantikannya. Maka dikumpulkanlah kambing, monyet, ikan pinguin, dan gajah. Kesemua binatang tersebut memiliki hak yang sama untuk menjadi raja hutan selanjutnya, namun syarat untuk menjadi raja hutan adalah memanjat pohon" atau "setiap anak adalah jenius. Tetapi jika kamu menilai seekor ikan dari cara ia memanjat pohon, maka ia akan merasa bodoh selamanya"
Sebenarnya apa-apa yang disampaikan 'para ahli' ini tidak sepenuhnya salah, karena mereka ingin mengingatkan kembali para orangtua pemaksa yang memaksa mereka untuk bagus dan juga sempurna sekaligus menyentil pemerintah. Sehingga mereka menunjukkan ke-frustasian mereka, walau tidak semua 'ahli' adalah anak yang mengikuti sekolah dengan baik. Tapi mereka semua lupa, bahwa yang mereka sampaikan adalah masalah; mereka memaparkan masalah dengan bahasa yang mudah dimengerti. Yaitu masalah ketidakmengertian para orangtua terhadap mereka, dan tidak memberikan jawaban apa-apa.
Padahal pemecahan dari masalah ini adalah seperti kata Tan Malaka “Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.” Artinya, baik para orangtua, guru, perancang kurikulum, para murid, dan semua yang terlibat dalam dunia pendidikan harus bisa mengerti satu sama lain. Tentu saja setelah mereka memahami apa arti pendidikan sejatinya, maka dari itu kita sama-sama merenungi sejenak tentang pendidikan kita dan bertanya “sejauh apa pendidikan kita sudah melenceng dari visi para pencetus pendidikan Indonesia?”
“Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahiriah sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan. Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatannya sendiri.” Begitu kata sang bapak pendidikan Indonesia, beliau meyakini bahwa pendidikan itu terdiri dari tiga faktor, yaitu: ‘ngerti’ (aspek kognitif), ‘ngrasa’ (aspek afektif), dan ‘nglakoni’ (aspek psikomotorik). Terlebih lagi, beliau mengusung pendidikan nasional dengan konsep penguatan penanaman nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa sendiri secara masif dalam kehidupan anak didik tanpa mengesampingkan proses humanisasi. Beliau juga melandasi semua kebijakannya dengan semangat mengangkat derajat daripada kaum pribumi agar bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Sementara sang bapak republik, Tan Malaka berpendapat “tujuan pendidikan ialah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.” Tan Malaka juga menguraikan pendapatnya tentang pendidikan kerakyatan. Pertama, perlunya pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan seperti berhitung, menulis, ilmu bumi, dan bahasa. Kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi dan berdemokrasi. Dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi kebawah.
Oleh
Luthfi Ferdi S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H