kebijakan ekonomi dari nilai-nilai ekonomi kerakyatan dan ekonomi Pancasila.
Indonesia, sebagai negara yang berlandaskan ideologi Pancasila, memiliki dasar yang kokoh untuk membangun ekonomi yang adil dan berpihak pada rakyat. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan pentingnya keadilan sosial dalam pengelolaan ekonomi, yang seharusnya menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan. Namun, kenyataan menunjukkan adanya pergeseran yang serius dari prinsip ini. Dalam beberapa dekade terakhir, ekonomi Indonesia tampak semakin dikuasai oleh kekuatan korporasi besar dan oligarki yang erat kaitannya dengan pengambilan keputusan politik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan semakin jauhnyaDominasi korporasi besar terlihat jelas di berbagai sektor strategis, seperti energi, pertambangan, dan agribisnis. Sebuah laporan Oxfam Indonesia pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Angka ini menjadi gambaran nyata betapa tingginya ketimpangan ekonomi yang diakibatkan oleh terkonsolidasinya kekayaan di tangan segelintir elit. Kondisi ini diperparah oleh temuan Purwanto dan rekan-rekannya pada tahun 2021, yang mencatat bahwa kebijakan yang lahir dalam beberapa tahun terakhir cenderung lebih berpihak pada korporasi besar, salah satunya terlihat dari implementasi Undang-Undang Cipta Kerja yang menuai kritik karena dianggap mengabaikan hak-hak pekerja dan petani kecil. Ketimpangan yang terjadi tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga meluas ke ranah politik, di mana oligarki memainkan peran besar dalam menentukan arah kebijakan negara.
Kebijakan ekonomi yang seharusnya memprioritaskan penguatan ekonomi rakyat justru mengalami penyimpangan. Sebagai contoh, sektor pertanian, yang merupakan tulang punggung ekonomi rakyat dan menyerap mayoritas tenaga kerja di pedesaan, terus menjadi sektor yang paling rentan terhadap kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Rendahnya daya tawar petani dalam rantai produksi, yang diperburuk oleh kebijakan impor pangan yang berlebihan, menjadi faktor utama penyebab lemahnya posisi petani. Alih-alih memperkuat kedaulatan pangan, kebijakan ini justru menimbulkan ketergantungan yang besar terhadap pasar global dan mengorbankan petani lokal.
Krisis ekonomi selama pandemi COVID-19 semakin mempertegas ketimpangan yang ada. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat dan menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menurut data Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2022, menghadapi tekanan berat akibat minimnya akses terhadap modal dan dukungan kebijakan yang memadai. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan besar mampu bertahan, bahkan memperluas pangsa pasar mereka, karena memiliki akses yang lebih besar terhadap stimulus ekonomi yang disediakan pemerintah. Situasi ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang lebih mengedepankan efisiensi pasar ala neoliberalisme semakin menjauhkan kebijakan ekonomi Indonesia dari nilai-nilai ekonomi Pancasila.
Pergeseran ini mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah untuk menjalankan prinsip keadilan sosial sebagaimana ditekankan oleh Prof. Mubyarto, seorang tokoh penting dalam pengembangan konsep ekonomi Pancasila. Dalam pemikirannya, Mubyarto (1981) mengingatkan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga harus memastikan bahwa manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat secara adil. Sayangnya, banyak kebijakan ekonomi saat ini lebih berpihak pada modal besar daripada rakyat kecil, seperti terlihat dalam pengelolaan sumber daya alam yang cenderung tidak adil. Kebijakan yang berpihak pada perusahaan besar, termasuk pemodal asing, sering kali mengabaikan masyarakat lokal sebagai pihak yang berhak atas manfaat dari kekayaan alam. Alih-alih menciptakan keadilan, pengelolaan sumber daya alam sering menjadi sumber konflik sosial dan ketimpangan yang mendalam.
Di tengah situasi ini, pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk mengembalikan arah pembangunan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Reformasi sistem perpajakan yang lebih progresif menjadi salah satu langkah penting untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Dengan sistem perpajakan yang adil, beban pajak dapat lebih proporsional sehingga tidak hanya membebani masyarakat kelas menengah ke bawah, tetapi juga melibatkan kontribusi yang signifikan dari kelompok elit yang memiliki kekayaan besar. Selain itu, penguatan UMKM dan koperasi harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan ekonomi. Pemerintah perlu menciptakan ekosistem bisnis yang inklusif, yang memungkinkan UMKM untuk tumbuh dan bersaing tanpa harus menghadapi tekanan besar dari perusahaan-perusahaan besar. Pemberian insentif bagi UMKM yang berorientasi pada produk lokal dan penyediaan akses terhadap teknologi serta pasar dapat menjadi solusi untuk memperkuat ekonomi rakyat.
Dalam sektor pertanian, pemerintah harus kembali pada amanat reformasi agraria yang sejati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Redistribusi tanah kepada petani kecil harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa mereka memiliki akses terhadap aset produktif. Selain itu, industrialisasi berbasis pertanian yang fokus pada produksi lokal harus didorong untuk memberikan nilai tambah yang lebih besar kepada petani. Dengan langkah-langkah ini, petani dapat menjadi subjek pembangunan ekonomi, bukan hanya menjadi objek yang dieksploitasi.
Pemerintah juga harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam. Setiap kebijakan terkait eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan dan melibatkan masyarakat lokal sebagai penerima manfaat utama. Dengan cara ini, pengelolaan sumber daya alam tidak hanya akan mengurangi ketimpangan, tetapi juga memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia.
Menghidupkan kembali nilai-nilai ekonomi Pancasila memerlukan keberanian dan komitmen dari semua pihak. Pemerintah, akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk memastikan bahwa prinsip keadilan sosial dan kedaulatan rakyat menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan ekonomi. Nilai-nilai ekonomi Pancasila bukanlah konsep usang, melainkan solusi yang relevan untuk mengatasi tantangan ketimpangan dan ketidakadilan yang semakin akut di era modern. Jika Indonesia ingin tetap teguh pada jati dirinya sebagai negara yang berdaulat dan berkeadilan sosial, maka tidak ada pilihan selain kembali kepada cita-cita luhur ekonomi Pancasila.
#mengingatkembaliekonomikerakyatan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI