Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... Dosen - pembelajar/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

BLUE ECONOMY dan Pemagaran Laut : IRONI NEGARA MARITIM

23 Januari 2025   17:46 Diperbarui: 23 Januari 2025   17:46 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ihttps://images.app.goo.gl/PwR57cx2BDFTyTHU7

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi besar dalam pembangunan ekonomi kelautan berbasis konsep blue economy. Blue economy, menurut World Bank (2017), adalah pendekatan pembangunan ekonomi yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan, dengan memperhatikan keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dalam konteks Indonesia, konsep ini seharusnya menjadi fondasi untuk mengelola sumber daya laut secara bijak, yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga melindungi ekosistem laut dan kehidupan masyarakat pesisir, termasuk nelayan. Namun, fenomena pemagaran laut di wilayah utara Jakarta dan Tangerang mengundang pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini selaras dengan visi blue economy?

Laporan terbaru mengungkapkan bahwa pagar laut sepanjang 30,16 km di wilayah Tangerang telah berdampak signifikan terhadap kehidupan nelayan tradisional. Sebanyak 3.888 nelayan kehilangan akses ke ruang tangkap, dengan potensi kerugian ekonomi sementara yang mencapai Rp 9 miliar (Liputan6, 2025). Pemagaran ini dilakukan dengan dalih pengamanan kawasan dan mendukung proyek reklamasi. Namun, praktik ini jelas mencederai prinsip blue economy yang mengedepankan keberlanjutan dan inklusivitas dalam pengelolaan wilayah pesisir. Laut, sebagai sumber daya publik, justru berubah menjadi ruang eksklusif yang dimonopoli oleh kepentingan korporasi dan pemodal besar.

Dalam kerangka blue economy, laut harus dilihat sebagai ruang ekonomi yang tidak hanya menghasilkan nilai tambah ekonomi tetapi juga menjadi tumpuan keberlanjutan ekologis dan sosial. Pemagaran laut secara langsung menutup akses terhadap sumber daya laut yang merupakan sumber penghidupan utama bagi masyarakat pesisir. Menurut FAO (2020), 90% dari aktivitas perikanan dunia dilakukan oleh nelayan skala kecil. Di Indonesia, nelayan tradisional berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan dan ekonomi lokal, tetapi kebijakan seperti pemagaran laut ini justru meminggirkan mereka dari sistem ekonomi kelautan yang seharusnya inklusif.

Dalam praktiknya, reklamasi dan pemagaran laut lebih mencerminkan pendekatan daratan yang bertumpu pada pembangunan infrastruktur permukiman elit, kawasan industri, dan fasilitas komersial. Pendekatan ini sangat bertentangan dengan semangat blue economy, yang menekankan bahwa pembangunan wilayah pesisir harus berbasis ekosistem dan inklusif terhadap masyarakat lokal (Pauli, 2010). Dalam hal ini, reklamasi dan pemagaran menciptakan eksternalitas negatif berupa kerusakan ekosistem pesisir, seperti mangrove dan padang lamun, yang berfungsi sebagai habitat ikan dan pelindung alami dari abrasi. Akibatnya, nelayan kecil tidak hanya kehilangan akses ruang tangkap tetapi juga menghadapi penurunan stok ikan yang berkelanjutan.

Di sisi lain, janji pemerintah untuk mendorong blue economy seringkali tidak selaras dengan implementasi kebijakan di lapangan. Misalnya, meskipun Indonesia telah mencanangkan visi Poros Maritim Dunia yang berlandaskan pengelolaan laut berkelanjutan, kenyataannya kebijakan seperti reklamasi dan pemagaran laut lebih berorientasi pada pembangunan darat. Menurut Harvey (2005), fenomena ini menunjukkan bagaimana kapitalisme ruang telah mereduksi laut menjadi objek eksploitasi ekonomi, di mana nilai ekologis dan sosialnya diabaikan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Selain itu, pemagaran laut bertentangan dengan prinsip pengelolaan berbasis ekosistem (ecosystem-based management) yang menjadi pilar utama blue economy. Laut dan ekosistemnya adalah sistem yang saling terkait, di mana perubahan atau kerusakan pada satu komponen akan memengaruhi komponen lainnya. Pemagaran laut tidak hanya mengganggu aliran migrasi ikan tetapi juga merusak pola interaksi ekologis yang penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Hal ini berimplikasi langsung pada penurunan produktivitas perikanan dan kelestarian laut secara keseluruhan.

Kritik yang disampaikan oleh akademisi dan aktivis menunjukkan pentingnya perubahan paradigma dalam pengelolaan pesisir. Nelayan tradisional, yang selama ini menjadi pelaku utama dalam menjaga keberlanjutan laut melalui praktik-praktik lokal yang bijak, harus menjadi bagian integral dari proses pengambilan keputusan. Menurut Ostrom (1990), pendekatan berbasis komunitas dalam pengelolaan sumber daya bersama (common-pool resources) adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang. Oleh karena itu, penguatan hak kelola masyarakat pesisir dan keterlibatan mereka dalam pengambilan kebijakan harus menjadi prioritas utama.

Apa yang harus dilakukan? Pertama, pemerintah perlu melakukan moratorium terhadap semua bentuk reklamasi dan pemagaran laut yang tidak sesuai dengan prinsip blue economy. Evaluasi menyeluruh terhadap dampak sosial, ekonomi, dan ekologis dari proyek-proyek ini harus dilakukan secara transparan. Kedua, pendekatan tata ruang laut berbasis ekosistem harus diadopsi untuk memastikan bahwa pembangunan pesisir selaras dengan keberlanjutan ekologis. Ketiga, hak akses nelayan tradisional terhadap sumber daya laut harus dijamin melalui regulasi yang tegas. Misalnya, alokasi ruang tangkap khusus bagi nelayan kecil dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi konflik ruang.

Keempat, pemerintah harus mengadopsi konsep blue economy yang holistik, di mana pembangunan wilayah pesisir tidak hanya berorientasi pada nilai ekonomi tetapi juga memperhatikan keberlanjutan sosial dan ekologis. Inisiatif seperti pengembangan perikanan berkelanjutan, ekowisata berbasis masyarakat, dan restorasi ekosistem pesisir dapat menjadi langkah konkret untuk mendukung visi ini. Selain itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan bagi nelayan tradisional untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan praktik perikanan berkelanjutan juga perlu diperkuat.

Akhirnya, pemagaran laut di wilayah Jakarta dan Tangerang adalah manifestasi dari kebijakan yang tidak sejalan dengan visi blue economy. Laut yang seharusnya menjadi ruang bersama justru dimonopoli oleh kepentingan korporasi, sementara masyarakat pesisir yang bergantung pada laut menjadi korban utama. Untuk itu, diperlukan komitmen nyata dari pemerintah untuk menempatkan blue economy sebagai dasar dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Keberlanjutan laut bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang keberlanjutan hidup jutaan nelayan yang menjadi tulang punggung bangsa maritim ini.

#belajarblueeconomy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun