Zakat, sebagai salah satu pilar utama dalam Islam, memiliki potensi yang sangat besar untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, potensi zakat di Indonesia diestimasikan mencapai Rp327,6 triliun per tahun (Baznas, 2021). Namun, realisasi penghimpunan zakat masih sangat kecil, hanya sekitar Rp14,2 triliun pada tahun 2022. Angka ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 4,3% dari potensi zakat yang tergali, menandakan adanya kesenjangan signifikan antara potensi dan realitas yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, lembaga zakat, dan masyarakat.
Di tengah permasalahan pembangunan yang kompleks, seperti kemiskinan, stunting, akses pendidikan, dan kesehatan yang tidak merata, zakat dapat menjadi instrumen ekonomi yang kuat jika dikelola dengan efektif. Indonesia saat ini menghadapi tingkat kemiskinan sebesar 9,57% dari total populasi atau sekitar 26,36 juta jiwa pada tahun 2023 (BPS, 2023). Selain itu, prevalensi stunting pada anak mencapai 21,6% pada tahun yang sama, jauh di atas target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%. Problematika ini, bersama dengan isu pendidikan dan kesehatan, memerlukan intervensi berbasis nilai agama dan komunitas yang terorganisasi dengan baik. Zakat menawarkan mekanisme redistribusi yang unik, berbasis kewajiban religius, yang jika dimobilisasi dengan optimal dapat mengatasi berbagai isu ini.
Zakat berfungsi sebagai alat redistribusi kekayaan yang berpotensi signifikan dalam mengurangi kesenjangan ekonomi. Dalam konteks pengentasan kemiskinan, data menunjukkan bahwa jika potensi zakat nasional dikelola secara maksimal, diperkirakan 30 juta orang miskin di Indonesia dapat terangkat dari garis kemiskinan (Ali & Huda, 2022). Lembaga seperti Baznas telah memulai langkah penting dengan program zakat produktif, yang memberikan modal usaha dan pelatihan kepada mustahik (penerima zakat) agar mereka mampu menjadi muzaki (pemberi zakat) di masa depan. Efek multiplikasi ini memungkinkan zakat tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar tetapi juga menciptakan kemandirian ekonomi.
Selain kemiskinan, zakat memiliki potensi besar dalam menangani masalah kesehatan, khususnya stunting. Stunting, atau kekurangan gizi kronis yang berdampak pada pertumbuhan anak, membutuhkan intervensi multidimensional. Dana zakat dapat digunakan untuk menyediakan layanan kesehatan, makanan bergizi, dan edukasi bagi keluarga miskin. Sebagai contoh, program Baznas seperti Klinik Zakat telah berhasil memberikan akses layanan kesehatan gratis kepada masyarakat miskin di berbagai daerah. Jika cakupan program semacam ini diperluas dengan dukungan penuh dari zakat, dampaknya pada penurunan angka stunting bisa signifikan.
Pendidikan juga merupakan sektor yang sangat relevan untuk intervensi berbasis zakat. Di Indonesia, sekitar 1,2 juta anak usia sekolah masih berada di luar pendidikan formal (UNICEF, 2022). Dana zakat dapat dialokasikan untuk beasiswa, pembangunan fasilitas pendidikan, dan pelatihan guru di daerah tertinggal. Pengalaman dari program pendidikan zakat yang dijalankan oleh Dompet Dhuafa menunjukkan bahwa dengan pengelolaan yang terarah, zakat dapat meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, terutama di komunitas miskin.
Namun, untuk mengoptimalkan potensi zakat dalam pembangunan, ada beberapa tantangan yang harus diatasi. Pertama, tingkat literasi zakat di kalangan masyarakat masih rendah. Banyak umat Islam yang belum memahami pentingnya membayar zakat dan bagaimana dana tersebut dapat digunakan untuk tujuan pembangunan. Kampanye edukasi yang intensif melalui berbagai platform diperlukan untuk meningkatkan kesadaran ini. Kedua, pengelolaan zakat sering kali terfragmentasi, dengan banyak lembaga kecil yang kurang memiliki kapasitas administrasi dan akuntabilitas yang memadai. Konsolidasi dan penguatan lembaga zakat melalui kerangka regulasi yang kuat dapat meningkatkan efektivitas distribusi zakat.
Kerangka hukum dan kebijakan pemerintah juga memainkan peran penting. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat memberikan landasan hukum bagi pengelolaan zakat di Indonesia. Namun, implementasinya perlu ditingkatkan, terutama dalam pengawasan dan integrasi data antara lembaga zakat pemerintah dan swasta. Dengan memperkuat koordinasi, transparansi, dan akuntabilitas, pemerintah dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat, sehingga lebih banyak dana zakat dapat terhimpun.
Dalam perspektif syariah, zakat memiliki nilai yang lebih dari sekadar kewajiban finansial. Ia adalah alat untuk menciptakan keseimbangan sosial dan solidaritas umat. Ayat-ayat Al-Qur'an, seperti Surah At-Taubah ayat 60, menegaskan bahwa zakat ditujukan untuk delapan asnaf, termasuk fakir, miskin, dan ibnu sabil, yang semuanya berhubungan langsung dengan isu-isu pembangunan. Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW juga menunjukkan bahwa zakat adalah instrumen untuk mendukung kaum dhuafa dan mengokohkan persatuan umat. Pendekatan ini menunjukkan bahwa zakat tidak hanya memenuhi kebutuhan duniawi tetapi juga memperkuat dimensi spiritual dan sosial masyarakat.
Dengan demikian, potensi zakat sebagai solusi pembangunan di Indonesia sangat besar. Untuk mencapainya, diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga zakat, akademisi, dan masyarakat. Pemerintah perlu memimpin dalam menyediakan kebijakan yang mendukung dan mengawasi pengelolaan zakat secara profesional. Lembaga zakat harus terus berinovasi dalam menciptakan program-program berbasis dampak yang dapat langsung dirasakan oleh penerima manfaat. Di sisi lain, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan partisipasinya dalam membayar zakat.
Zakat adalah jawaban yang telah Allah SWT berikan kepada umat-Nya untuk mengatasi ketidakadilan ekonomi dan sosial. Dengan pengelolaan yang amanah, transparan, dan inovatif, zakat dapat menjadi instrumen pembangunan yang mendukung agenda besar bangsa, termasuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Jika umat Islam Indonesia bersatu untuk memanfaatkan potensi zakat secara maksimal, maka tidak hanya kemiskinan, stunting, dan ketimpangan yang dapat diatasi, tetapi juga martabat bangsa akan terangkat melalui penerapan nilai-nilai Islam yang universal.