Banjir bandang merupakan salah satu bencana yang paling sering melanda Indonesia, termasuk kejadian terbaru di Rengel, Tuban. Kecamatan yang secara emosial sangat dekat dengan saya. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan mendalam karena dampaknya yang merusak infrastruktur, mengancam jiwa, serta mengganggu stabilitas sosial-ekonomi masyarakat. Sebagai negara dengan curah hujan tinggi, topografi yang kompleks, dan praktik tata guna lahan yang tidak selalu berkelanjutan, Indonesia memiliki kerentanan yang signifikan terhadap banjir bandang. Oleh karena itu, pemahaman terhadap faktor penyebab, upaya mitigasi, serta respon kebijakan menjadi sangat penting untuk mencegah dan mengurangi dampak bencana ini.
Faktor penyebab utama banjir bandang dapat dikategorikan menjadi faktor alam dan faktor antropogenik. Dari sisi alam, intensitas hujan yang tinggi akibat perubahan iklim menjadi salah satu penyebab signifikan. Laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa perubahan pola hujan yang semakin ekstrem telah meningkatkan risiko banjir bandang di berbagai daerah (BMKG, 2023). Selain itu, topografi pegunungan dengan kemiringan curam mempermudah akumulasi air dan material longsoran menuju area dataran rendah. Hal ini sering terjadi di daerah seperti Rengel, Tuban, di mana pola aliran sungai dan kondisi geologi mempercepat laju banjir.
Dari sisi antropogenik, alih fungsi lahan menjadi faktor dominan. Penebangan hutan yang masif, pembukaan lahan untuk pertanian atau pemukiman, dan urbanisasi tanpa perencanaan lingkungan yang baik menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa 59% kejadian banjir bandang di Indonesia dalam dekade terakhir berkaitan dengan kerusakan daerah tangkapan air atau DAS (BNPB, 2022). Selain itu, buruknya sistem drainase perkotaan dan sedimentasi sungai akibat erosi memperburuk dampak banjir.
Dalam konteks mitigasi, pendekatan berbasis ekosistem menjadi solusi yang sangat relevan. Restorasi hutan dan reboisasi di daerah tangkapan air dapat meningkatkan kapasitas tanah untuk menyerap dan menahan air. Penanaman vegetasi lokal yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap air, seperti bambu, dapat menjadi alternatif yang efektif. Selain itu, membangun sistem peringatan dini berbasis teknologi dan melibatkan komunitas lokal dalam pengawasan DAS juga penting untuk mengurangi risiko banjir bandang.
Pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap banjir merupakan langkah mitigasi struktural yang perlu diutamakan. Bendungan, embung, dan saluran drainase perlu dirancang dengan memperhatikan proyeksi curah hujan masa depan yang semakin ekstrem. Contoh keberhasilan langkah ini dapat dilihat di daerah Bogor, di mana pembangunan bendungan multifungsi berhasil mengurangi risiko banjir bandang di Jakarta (Kementerian PUPR, 2021). Namun, implementasi infrastruktur ini harus dibarengi dengan perencanaan tata ruang yang ketat agar tidak mengabaikan fungsi ekologis lahan.
Respon kebijakan pemerintah juga menjadi faktor kunci dalam mitigasi banjir bandang. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan holistik yang mengintegrasikan pengelolaan DAS, tata ruang, dan kesiapsiagaan bencana. Kebijakan nasional terkait pengelolaan DAS, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012, harus diimplementasikan dengan konsisten di tingkat daerah. Selain itu, penting untuk memperkuat koordinasi antarinstansi, termasuk BNPB, BMKG, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pemerintah daerah, untuk menciptakan sinergi dalam pengurangan risiko bencana.
Selain kebijakan struktural, edukasi publik memiliki peran penting dalam membangun ketahanan masyarakat terhadap banjir bandang. Program edukasi yang melibatkan sekolah, komunitas, dan media massa dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan kesiapsiagaan bencana. Contohnya adalah program Desa Tangguh Bencana yang digagas oleh BNPB, yang berhasil mengurangi kerentanan masyarakat di beberapa wilayah rawan bencana (BNPB, 2020).
Namun, tantangan utama dalam mitigasi dan respon kebijakan adalah kurangnya pendanaan dan lemahnya penegakan hukum. Dana penanganan bencana yang sering kali bersifat reaktif perlu dialihkan ke pendekatan preventif, seperti reboisasi dan pembangunan infrastruktur hijau. Penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal, seperti pembalakan liar dan penambangan di DAS, harus ditingkatkan untuk memastikan keberlanjutan lingkungan.
Kejadian banjir bandang di Rengel, Tuban, mengingatkan kita bahwa kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat penting untuk mengurangi dampak bencana. Upaya ini membutuhkan komitmen bersama untuk memperkuat kapasitas adaptasi dan mitigasi di semua tingkatan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan berbasis data, risiko banjir bandang dapat diminimalkan secara signifikan. Mengingat prediksi bahwa perubahan iklim akan terus meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, langkah-langkah ini menjadi semakin mendesak untuk dilaksanakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H