Membuka 20 juta hektar hutan---hampir dua kali luas Pulau Jawa---untuk menjadi lumbung pangan dan energi adalah rencana paling gila yang pernah diusulkan oleh sebuah pemerintahan. Ketika negara-negara lain berupaya melakukan restorasi lahan dan "greening the desert" demi melawan krisis iklim, langkah ini justru menunjukkan betapa ugal-ugalannya pendekatan pembangunan yang tidak berpijak pada keberlanjutan lingkungan.
Sebagai negara dengan kekayaan hutan tropis yang melimpah, Indonesia seharusnya sadar bahwa hutan adalah aset strategis. Hutan tropis Indonesia mencakup lebih dari 82 juta hektar, yang berperan sebagai penyerap karbon, penyedia air bersih, serta habitat bagi ribuan spesies flora dan fauna, termasuk yang langka dan endemik (Forest Watch Indonesia, 2021). Jika 20 juta hektar hutan ditebang, dampaknya akan sangat masif terhadap lingkungan, termasuk pelepasan karbon dalam jumlah besar. Data dari Global Forest Watch (2022) menunjukkan bahwa satu hektar hutan tropis yang ditebang dapat melepaskan 200 ton karbon dioksida. Dengan demikian, proyek ini berpotensi melepaskan lebih dari 4 miliar ton karbon ke atmosfer, mempercepat laju pemanasan global dan memperburuk krisis iklim.
Selain itu, dampak terhadap biodiversitas akan sangat menghancurkan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Lebih dari 10% spesies tumbuhan, 12% spesies mamalia, dan 17% spesies burung dunia berada di hutan-hutannya (IUCN, 2022). Kehilangan hutan dalam skala besar akan mengancam spesies-spesies ini, mempercepat kepunahan, dan merusak ekosistem yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat adat dan lokal. Padahal, hutan bukan sekadar ekosistem, tetapi juga sumber pangan dan obat-obatan yang sangat beragam. Banyak komunitas adat bergantung pada hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari buah-buahan hingga tanaman obat tradisional.
Rencana ini juga mengabaikan fakta bahwa 70% pasokan pangan dunia dihasilkan oleh petani kecil, bukan dari pertanian skala besar seperti food estate (FAO, 2021). Food estate seringkali tidak efisien, merusak lingkungan, dan menciptakan ketergantungan pada input pertanian seperti pupuk kimia dan pestisida. Sebaliknya, penguatan family farming atau pertanian keluarga di desa-desa adalah alternatif yang jauh lebih berkelanjutan. FAO sendiri merekomendasikan pendekatan ini karena terbukti mampu meningkatkan ketahanan pangan dengan cara yang ramah lingkungan, berbasis komunitas, dan menghormati hak-hak petani kecil.
Diversifikasi pangan juga menjadi solusi penting yang sering diabaikan. Ketergantungan pada beras sebagai sumber pangan utama telah membuat sistem pangan Indonesia rentan. Padahal, hutan menyediakan berbagai jenis sumber pangan yang lebih beragam dan bernilai gizi tinggi, mulai dari umbi-umbian, sagu, hingga tanaman herbal. Mengintegrasikan diversifikasi pangan dengan perlindungan hutan dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pangan dan kelestarian lingkungan.
Lebih jauh lagi, masalah mendasar dalam sistem pangan Indonesia sebenarnya bukan pada ketersediaan lahan, tetapi pada inefisiensi distribusi, pemborosan pangan, dan lemahnya infrastruktur pertanian. Berdasarkan laporan Kementerian Pertanian (2020), sekitar 23--25% produksi pangan nasional terbuang setiap tahun. Dengan mengurangi pemborosan ini, ketahanan pangan dapat ditingkatkan tanpa perlu merambah hutan.
Alternatif lainnya adalah pemanfaatan lahan kritis yang sudah ada. Data dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (2021) mencatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 14 juta hektar lahan kritis yang dapat dioptimalkan untuk pertanian. Dengan rehabilitasi dan pengelolaan yang baik, lahan ini bisa menjadi solusi untuk meningkatkan produksi pangan tanpa perlu merusak ekosistem hutan primer.
Sistem pertanian berbasis agroekologi juga layak untuk diadopsi. Agroekologi memadukan prinsip ekologis dengan teknologi modern untuk meningkatkan hasil panen sekaligus melindungi lingkungan. Penelitian Altieri et al. (2019) menunjukkan bahwa pendekatan ini mampu meningkatkan hasil panen hingga 79% di berbagai wilayah tanpa merusak tanah atau air. Ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperkuat ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Selain aspek teknis, reformasi kebijakan diperlukan untuk mendukung peran petani kecil. Pemerintah perlu memastikan bahwa petani memiliki akses terhadap teknologi, pelatihan, dan pasar. Penguatan sistem distribusi pangan lokal juga sangat penting. Ketahanan pangan bukan hanya tentang produksi, tetapi juga tentang distribusi yang merata dan aksesibilitas pangan bagi seluruh rakyat.
Indonesia juga memiliki peluang untuk memanfaatkan teknologi digital dalam mendukung ketahanan pangan. Pemanfaatan big data untuk memetakan kebutuhan pangan, Internet of Things (IoT) untuk monitoring pertanian, dan blockchain untuk transparansi rantai pasok dapat meningkatkan efisiensi sistem pangan tanpa memerlukan perluasan lahan baru.
Pada akhirnya, rencana pembukaan 20 juta hektar hutan hanya akan menciptakan petaka besar bagi lingkungan, masyarakat adat, dan masa depan generasi mendatang. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berkelanjutan seperti memperkuat family farming, diversifikasi pangan, pemanfaatan lahan kritis, dan agroekologi harus menjadi prioritas. Langkah-langkah ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga mendukung sistem pangan yang tangguh dan adil.
Dengan mengambil jalur keberlanjutan, Indonesia tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan pangannya, tetapi juga berkontribusi pada upaya global untuk melawan perubahan iklim. Kita perlu mengingat bahwa ketahanan pangan yang sejati tidak pernah bisa dicapai dengan merusak alam yang menjadi sumber kehidupan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H