Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... Dosen - dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Implikasi Kenaikan PPN 12% Terhadap Pembangunan Daerah

2 Januari 2025   06:00 Diperbarui: 2 Januari 2025   07:12 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kebijakan pemerintah Indonesia menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% di tahun 2025 telah memicu diskusi luas mengenai dampaknya terhadap masyarakat dan pembangunan daerah. Sebagai instrumen utama penerimaan negara, kenaikan PPN bertujuan memperkuat fiskal nasional di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat. Namun, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan konsekuensi ekonomi dan sosial yang signifikan, terutama di wilayah-wilayah yang menghadapi kerentanan struktural. Dalam konteks pembangunan daerah, kebijakan ini perlu dianalisis secara mendalam untuk memahami implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah, inflasi, kesejahteraan masyarakat, dan prospek fiskal daerah.

Secara ekonomi, kenaikan PPN dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah melalui dua jalur utama: konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, akan terdampak langsung oleh kenaikan harga barang dan jasa akibat penambahan tarif PPN. Penurunan daya beli konsumen akan berimplikasi pada melambatnya pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di wilayah yang sangat bergantung pada sektor konsumsi domestik. Sebagai contoh, provinsi seperti Jawa Barat dan Bali, yang memiliki kontribusi besar sektor perdagangan dan pariwisata terhadap PDRB, mungkin mengalami penurunan aktivitas ekonomi lebih tajam dibandingkan wilayah yang lebih terdiversifikasi ekonominya. Berdasarkan estimasi Bank Indonesia (2024), kenaikan PPN sebesar 1% berpotensi mengurangi pertumbuhan PDB sebesar 0,2-0,3% dalam jangka pendek, tergantung pada elastisitas konsumsi di masing-masing daerah.

Kenaikan PPN juga diperkirakan meningkatkan inflasi, terutama pada kelompok barang dan jasa yang bersifat esensial. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa inflasi Indonesia pada akhir 2024 berada di kisaran 3,5%, dan dengan tambahan tekanan dari kenaikan PPN, inflasi bisa melonjak hingga 5% di beberapa wilayah (BPS, 2024). Dampak ini akan lebih terasa di daerah yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap impor barang konsumsi atau menghadapi hambatan logistik, seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Lonjakan inflasi tidak hanya memperburuk ketimpangan harga antarwilayah tetapi juga menambah beban masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah.

Di sisi masyarakat, dampak kenaikan PPN terhadap pengeluaran rumah tangga menjadi perhatian utama. Kenaikan harga barang kebutuhan pokok akan mengurangi pendapatan riil masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Hal ini dapat menekan lebih banyak rumah tangga kelas menengah turun ke kategori rentan miskin, yang selama ini mendominasi struktur penduduk Indonesia. Berdasarkan survei Bank Dunia (2023), sekitar 45% penduduk Indonesia hidup sedikit di atas garis kemiskinan, dan kenaikan biaya hidup akibat kebijakan PPN dapat meningkatkan risiko kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang bergantung pada sektor informal, seperti petani dan nelayan, lebih rentan terhadap guncangan ekonomi ini. Selain itu, beban tambahan pada kelompok masyarakat ini dapat memperlambat perbaikan indikator pembangunan manusia (IPM) di beberapa daerah.

Namun, dari perspektif fiskal, kenaikan PPN juga membawa peluang bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas keuangan. Sebagai bagian dari sistem desentralisasi fiskal, penerimaan PPN dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Peningkatan penerimaan dari PPN dapat memberikan tambahan dana bagi hasil yang digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik di daerah. Kendati demikian, distribusi manfaat fiskal ini tidak selalu merata. Daerah dengan basis ekonomi yang lebih maju, seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur, cenderung memperoleh porsi lebih besar dari pendapatan pajak dibandingkan daerah tertinggal. Hal ini memperbesar tantangan dalam mengurangi ketimpangan fiskal antarwilayah, yang selama ini menjadi salah satu hambatan utama dalam pembangunan daerah (Kuncoro, 2023).

Dalam konteks kebijakan pembangunan daerah, kenaikan PPN memunculkan dilema antara kebutuhan untuk memperkuat penerimaan negara dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat serta stabilitas ekonomi daerah. Untuk memitigasi dampak negatif, pemerintah daerah perlu mengambil langkah strategis yang berorientasi pada keberlanjutan pembangunan. Pertama, penguatan program jaring pengaman sosial menjadi prioritas utama untuk melindungi kelompok rentan. Program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan subsidi pangan perlu ditingkatkan efektivitasnya agar benar-benar menjangkau masyarakat yang paling terdampak. Kedua, pemerintah daerah perlu mendorong efisiensi logistik dan pengendalian harga bahan pokok melalui penguatan infrastruktur distribusi, terutama di daerah terpencil. Langkah ini penting untuk menjaga stabilitas harga di tengah tekanan inflasi.

Selain itu, pemerintah pusat dan daerah perlu meningkatkan koordinasi dalam alokasi dana bagi hasil agar lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan masing-masing wilayah. Penggunaan dana tersebut harus diarahkan pada proyek-proyek yang memiliki dampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat, seperti pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur transportasi. Langkah ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup masyarakat tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Kenaikan PPN menjadi 12% merupakan kebijakan dengan implikasi luas bagi pembangunan daerah di Indonesia. Dampak negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan kesejahteraan masyarakat memerlukan perhatian serius, terutama bagi daerah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi. Namun, kebijakan ini juga memberikan prospek bagi peningkatan kapasitas fiskal daerah yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan. Dengan mitigasi yang tepat, terutama melalui program sosial dan distribusi fiskal yang adil, kebijakan ini dapat diimbangi untuk memastikan manfaatnya dirasakan secara inklusif. Pemerintah daerah memegang peran kunci dalam memastikan kebijakan ini tidak hanya menjadi beban bagi masyarakat tetapi juga menjadi peluang untuk pembangunan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun