Ketika kemahatakterhinggaan Tuhan adalah sebuah ilusi yang jauh untuk dihadirkan dalam bayang-bayangketerbatasan yang kita miliki, lalu dengan apa kita mendekat kepada-Nya? Kemudian, ia mengenalkan dirinya melalui bermilyar-milyar kebaikan—yang kita sebut nikmat, untuk menggambarkan betapa Pemurahnya DIA? Dan ketakmampun kita untuk menangkap slide-slide dzat-Nya tetaplah menjadi satu pertanyaan yang perlu dijawab berjuta-juta pembuktian.
Tidak ada yang memuaskan; tulisan, argumentasi, hujjah-hujjah presentasi, dan bahasa-bahasa lisaniyah untuk mendedah hakikat-Nya. Belumlah hadir seorang jenius—dengan retorikanya yang memendar-mendar cahaya segala sisi, dan mengungkap dengan bahasa—sebenarnya—Siapakah TUHAN itu sebenarnya?
lalu, kita dihadapkan pada sebuah gerbang besar, menuju kebebasan tanpa Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah bisa dibuktikan dengan kefasihan kata, sekental apapun nuansanya. Karena Tuhan juga tidak bisa didedah dengan visual, se-up to date apapun perangkatnya.
Lalu, dimanakah dapat menemukan-Nya?
Bermilyar manusia, dalam kemutlakan agama dan keyakinan, dapat menemukan oase tentang berTuhan dalam maknanya yang luas. Ada dari mereka, yang menemukan Tuhan kala bersimpuh di atas sajadah. Ada yang bertemu Tuhan, kala menghadiri kebaktian di gereja, semedi di wihara, dan ruang-ruang pengap musholla dan Pura.
Ada yang menemukan-Nya dalam cengkerama spiritual tanpa batas. Berasyik-masyuk dalam irama-Nya, penuh langgam indah dan memesona kalbu mahluk yang paling ninir sekalipun.
Begitulah, semua menemukan Tuhan! Dalam segala persepsi dan terjemahnya.
Aku-pun menemukan-Nya, kala lidahku kelu menyebut asma-Nya, atau kala getar rindu menggelegak dalam ritme keliaran yang tak mampu kusentuh kendalinya.
Aku menemukan-Nya, seiring aku menemukanmu, sebagai Tajalliyat Tuhan.
Di penghujung malam, Selasa 15 Sya’ban 1431.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H