Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerakan Mahasiswa: Mana Lebih Menarik, Karhutla atau Revisi UU KPK?

26 September 2019   03:02 Diperbarui: 26 September 2019   03:17 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ehhmm... Cek, Cek, Cek. Secara pribadi saya tidak yakin tulisan ini akan dibaca oleh banyak orang. Bagaimanapun isu lingkungan nyatanya tidak lebih menarik, menurut sebagian atau mungkin banyak orang, dibanding kasus-kasus lain seperti RUU KPK dan RKUHP.

Tetapi beberapa teman menyarankan saya untuk menulis terkait lingkungan, saya sendiri bingung, darimana bahasan ini mesti dimulai? Sehingga akhirnya bisa sampai pada kasus yang terbaru yakni Kebakaran Hutan dan dampaknya yakni Asap yang terjadi di Riau pada bulan ini.

Saya mulai dengan menyoal "Kebakaran Hutan" atau yang disebut sebagai Karhutla seringkali berkisar pada perdebatan makro terkait pertumbuhan ekonomi. Selain karena kasus ini seringkali menguap, banyak dari perusahaan terkait malah lolos dari sanksi.

Setidak-tidaknya dari data Greenpeace semenjak 2015-2018 ada 10 Perusahaan Kelapa Sawit yang tidak mendapat sanksi signifikan dan tegas baik sanksi administratif maupun sanksi pertada (ganti rugi).

Menurut Hariadi Kartodiharjo ( (2017:227), Masalah di kawasan hutan tidak lepas dari masalah pelanggaran dalam rencana tata ruang. Pada saat yang sama penataan ruang dapat menentukan pemanfaatan ruang di masa yang akan datang secara seimbang, serasi dan berkelanjutan.

Stop, lu kira bikin makalah? Pantes aja orang males baca, siapa elu? Professor? Aktivis lingkungan? Bentar lagi lu bakal bicara Global Warming, kan? Abis itu nakut-nakutin masyarakat tentang kiamat, halah, gak ngefek kali. Udah banyak pidato-pidato di PBB bahas itu, yang lain coba, yang lebih intim.

Atau gini deh, bagaimana cara lu meyakinkan khalayak kalau kasus lingkungan lebih penting dibanding RUU KPK ataupun RKUHP? Setidaknya pada mahasiswa, paling-paling lu bahas Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Baiklah, kalau itu maumu. Begini saja, jika kau anggap pemberantasan korupsi itu sangat penting maka bagaimana cara koruptor itu beroperasi? Kalau hanya sekedar menyaksikan tangkap tangan atau OTT saja itu tidak cukup, biasanya transaksi secara langsung hanya melibatkan sedikit uang.

Kau tahu korupsi besar-besar terjadi di sektor mana? Tentu saja berasal dari pengelolaan sumber daya alam.

KPK sendiri mengidentifikasi setidak-tidaknya ada 6 cara: penyuapan, gratifikasi, konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang penyelenggara - pelaku usaha, memanipulasi data dan informasi, serta ketidakpatuhan dalam melaksanakan kewajiban.

Sebagai contoh, pada pertengahan November 2016 Mahkamah Agung (MA) memutuskan PT Merbau Pelalawan Lestaru bersalah dan harus membayar ganti rugi sebesar 16.244.574.805,00 Rupiah atas kerusakan lingkungan seluas 1.873 hektare. Jadi dengan kata lain, kasus korupsi pada dasarnya beriringan dengan kasus lingkungan hidup.

Oke, itu menarik. Silahkan lanjutkan.

Di Revisi UU KPK yang baru terdapat beberapa pasal kontroversi, misalnya Pembentukan Dewan Pengawas (Pasal 37 A-H), Kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 (Pasal 40) dll.

Tapi mari kita fokus pada dua poin tersebut, sejatinya siapa yang akan diuntungkan? Tentu saja koruptor, Siapa yang dirugikan? Tentu saja rakyat, bagaimana tepatnya? 

Pertanyaan terakhir inilah yang menarik. Karena bukan hanya menegasikan perdebatan check and balances tapi juga akan mengantarkan kita pada kasus lingkungan yang berpotensi semakin marak terjadi.

Saya beri contoh kebakaran yang terjadi tahun 2015, pendek kata Presiden Jokowi datang ke lokasi yang penuh asap dan setelah itu ada perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka. Publik saat itu memuji Pak Presiden yang rela-rela menerobos asap dan tampil sebagai pahlawan. Namun apa yang terjadi setelahnya?

Yap, SP3 dikeluarkan pada 15 perusahaan yang sebelumnya ditetapkan tersangka. Jadi pada titik ini kita tahu, bagaimana ajaibnya SP3.  

Tapi kasus itu kan ditangani oleh Polri, bukan KPK.

Oh yah, saya tahu itu. Tapi disini justru menariknya, ada 13 kasus yang dilaporkan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang dilaporkan ke KPK dari tahun 2010-2016 terkait dugaan korupsi tentang Sumber Daya Alam (SDA) namun tidak jelas sejauh mana proses penyelidikannya.

Jadi pada titik ini, jauh sebelum dimulainya kontroversi revisi UU KPK, kita telah menyaksikan bahwa baik KPK maupun Polri tidak cukup tegas dan serius dalam melakukan penyelidikan.

Bayangkan jika ketidakmampuan atau ketidakseriusan itu dibatasi 1 tahun? Bukankah alibi yang sempurna untuk mengatakan bahwa itu perintah Undang-Undang? Selain itu, kaitannya dengan Dewan Pengawas adalah potensi birokrasi yang memperlambat proses perizinan atas penyelidikan.

Oke, mari bicara aspek politiknya. Jika polri dan KPK seringkali menangani kasus yang sama, kenapa Polri tertarik menjadi komisioner KPK?

Wow, pertanyaan itu sangat provokatif. Lain kali saya akan bahas, jujur saja akhir-akhir ini iklim politik kita tidak sehat tapi biar ku bisikan saja agar tidak dapat disadap. 

Yang jelas kerusakan sumber daya alam tidak hanya bicara terkait pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, kita mesti melihat bahwa SDA juga berperan dalam memantik konflik kepentingan antar lembaga pusat dan pemerintah daerah.

Dalam praktiknya konflik kepentingan itu dapat dilihat dari tumpang-tindihnya pemanfaatan ruang. Saya kasih contoh, berdasarkan data Statistik Kehutanan, empat provinsi di Kalimantan menetapkan lebih dari 5,8 juta hektar perubahan peruntukan status kawasan hutan menjadi non-hutan. 600.000 hektar lahan diantaranya tumpang-tindih dengan pemegang izin yang telah berjalan di kawasan hutan produksi.

Haduduh, lagi-lagi penjelasanmu seperti makalah.

Oke baiklah begini, untuk status kebakaran hutan bulan ini kita masih menunggu tindakan-tindakan dari pemerintah. Tapi dari contoh-contoh tahun sebelumnya kita bisa melihat bagaimana KPK yang sebelumnya diagung-agungkan, nyatanya tidak cukup kuat mengungkap korupsi SDA, begitupun dengan Polri.

Apalagi dengan Revisi UU KPK dan keterpilihan Komisioner yang baru. Dengan demikian, bukankah menarik melihat Karhutla dan Revisi UU KPK dalam satu waktu?

.......... (hening sejenak)

Catatan:
Tulisan ini semata mendorong perspektif lain dari tuntutan mahasiswa terkait Revisi UU KPK. Selain itu penting untuk didiskusikan kembali bahwa pemberantasan korupsi tak semata tentang institusionalisasi, check and balence ataupun OTT.

Berikut kiranya penting untuk diluruskan, apakah yang kita bela itu lembaga atau para mantan komisioner? Tanpa bermaksud menuduh aksi tersebut ditunggangi, sebagai pelajar bukankah kita mesti adil semenjak dalam pikiran?

Bagaimanapun kita mesti memasukkan beragam pertimbangan diantaranya bahwa baik KPK maupun Polri atau bahkan keduanya dalam satu lembaga yang sama, ternyata masih atau mungkin berpotensi tidak cukup mampu dalam menyelesaikan kasus lingkungan.

Bukankah itu artinya persoalan lingkungan tidak kalah pentingnya dengan Revisi UU KPK dan RKUHP?

- Semoga tulisan pengantar yang amat sederhana ini bisa memulai diskusi wacana lingkungan lebih populer, mungkin tidak akan banyak menarik sponsor atau donatur sebagaimana isu yang lain. Namun kiranya jauh lebih banyak kerugian yang kita terima sebagai rakyat karena ketidakpedulian kita akan kasus lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun