Tentu saja publik tidak sepenuhnya sadar, beberapa dari mereka masih memiliki keyakinan akan junjungannya meskipun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dipikirnya segala bentuk kritik atas pemerintah adalah si kampret, meski memang banyak kampret yang menolak Revisi UU KPK namun junjungan kampret pun terlibat dalam aliansi itu.
Pertanyaan kini muncul, kenapa gerakan massa tidak massive? Inilah yang justru menarik, dibalik diamnya para aktivis ternyata mereka justru tersandera, terjebak karena pilihan mereka di pemilu kemarin.
Bukan cuma memilih, tingginya konflik pada pemilu kemarin melibatkan partisipasi para aktivis dalam jumlah yang banyak. Masing-masing mereka dipergunakan para elit untuk memobilisasi suara, dan yah, hadiahnyapun tidak kecil.Â
Akhirnya kepalang tanggung sudah mendukung calon A/B mati-matian, sekarang giliran dibutuhkan oleh rakyat mereka justru kebingungan. Bahkan sekedar untuk menggalang kekuatan sekalipun mereka tidak lagi di dengar karena riwayat sebelumnya.Â
Yang kumaksud adalah aktivis tingkat lanjut, mereka yang sudah lulus dari kampus namun masih memiliki jaringan dan koneksi massa yang cukup banyak. Aktivis tingkat lanjut inilah yang saat ini tersandera, mendukung rentetan tindakan elit politik tentu saja tak akan mengharumkan namanya di publik, sedangkan ikut menolak rentetan revisi justru akan menghilangkan sumber pendapatannya.Â
Bagaimanapun mereka sedang berada di tengah-tengah karir, kebutuhannya pada elit sangatlah besar dalam menunjang keberlangsungan karirnya. Namun di satu sisi mereka terjebak, tak adalagi pilihan selain diam menunggu kemana arah angin bertiup.
Bagi para aktivis "tingkat lanjut" mudah saja untuk menentukan pilihan diantara perseteruan yonkou, dan mereka merasa besar karena dibutuhkan oleh elit politik manapun. Beberapa dari mereka tak punya loyalitas pada Prabowo atau Jokowi, bahkan darimana pun sumber uang tak jadi masalah.Â
Dan merekalah yang diuntungkan pada pemilu kemarin, tapi sekarang? Saat kedua yonkou beraliansi, mereka sama sekali tak punya daya jual, selain menunduk dan berkata "siap, laksanakan".Â
Permasalahannya semakin akut, karena publik tidak tahu lagi harus mendengarkan siapa, aliansi elit ataukah kelas menengah yang terjebak? Begitulah gerakan massa menjadi tidak terorganisir, bahkan absurd.Â
Bukankah aneh melihat para aktivis tanpa lambang almamater berdiri panas-panas mendukung Revisi KPK dan KUHP? Sedangkan pada saat yang sama gelombang intelektual dari mulai profesor sampai dosen biasa ramai-ramai mendeklarasikan penolakan.
Demikianlah kecilnya potensi gerakan massa yang ada, selain karena harus menghadapi aliansi partai-partai politik mereka juga tidak terorganisir karena beberapa dari aktor mobilisasinya terjebak oleh kedekatan dengan elite politik.Â