Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Greget! 5 Kali Debat Pilpres, Adakah Pengaruhnya?

14 April 2019   15:22 Diperbarui: 14 April 2019   15:28 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: Tirto.id

Banyak orang yang mengira efek debat itu langsung dan positif. Dikiranya pemenang debat otomatis akan dipilih oleh rakyat banyak. Tapi sesungguhnya dalam debat pilpres, pemenang debat itu tidak ada. Pertanyaan yang diajukan hendak menjebak, masing2 dari mereka memaksa lawan melakukan blunder. pada saat yg sama kecerobohan paslon dibutuhkan untuk memperkuat narasi.

Semisal Prabowo semalam tidak bisa jawab terkait mobile legend. Tidak lama setelah itu narasi yg dimunculkan adalah "prabowo gak nyambung" dll. Saya akui pertanyaan itu cerdas, meskipun lucu jika membedah kerangka argument yang mendasarinya, bagaimana tidak? pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa haram terkait games PUBG. Tentu saja PUBG berbeda dengan Mobile Legends (ML), tapi alasan Jokowi mendukung ML adalah krn menguntungkan negara, lah emangnya PUBG kagak? Sedangkan alasan  MUI mengaharamkan PUBG terkait dampaknya terhadap mental anak muda, lah dampak ML gimana? 

Membalik pertanyaan menjadi penting untuk menguji kerangka argument dibalik sebuah pertanyaan. Karena jika tidak utuh (komprehensif) atau malah sewenang-wenang (arbitrer), maka alih-alih sungguh-sungguh mendukung e-sport, petahana bisa jadi sekedar berkepentingan atas suara.

Tetapi bagaimanapun, menurutku, pertanyaan itu cerdas sebagai sebuah senjata tetapi lemah sebagai tameng. Karena memang pada dasarnya kedua paslon abai dengan tameng, bukan tidak penting, hanya saja yang dibutuhkan sekedar membuat lawannya blunder.

Oleh karenanya, mereka bukan hendak menyatakan dirinya lebih baik dengan menawarkan beragam gagasan, tp beyound the teksnya justru "jangan pilih dia", lah apa bedanya? bukankah jangan pilih dia berarti saya yang terbaik?  nope, prasyarat menjelaskan diri yg terbaik itu sangat sulit, harus banyak berjanji dan merasionalisasikan program kerja (capek bos promosi) menjelang pencoblosan. Lagian percuma jelaskan kelebihan kita sedangkan keburukan tak bisa ditutupi jadi mereka mengambil jalan pintas, dg meruntuhkan lawan, tidak usah capek merasionalisasikan program atau menambah janji. sekalian juga berharap basis massa lawan terpengaruh atau setidaknya menjadi gamang dan golput.

Efek perubahan basis massa sulit didapatkan sekedar dengan menjelaskan keunggulan, sedangkan menunjukan "kecerobohan" lawan cukup efektif dalam memberikan efek psikologis. semisal anda pendukung prabowo, muncul meme Prabowo tidak mengerti ML trus teman-teman anda mencomooh, maka bisa jadi besok lusa anda males ke TPS. Efek psikologis seringkali tidak terbaca statistik, karena memang efeknya tidak langsung.

So, bagi saya debat pilpres bukan perkara data. Soalnya mrk smua bawa teks, bukan juga terkait kecerdasan, org keduanya di briefing, bukan juga soal angka statistik krn diantaranya kemungkinan besar tak mengerti metodologi riset. Ini terkait perang wacana siapa dapat mengkonstruk kesadaran maka mereka adalah pemenangnya!! bahkan money politics sendiri bagian dr kesadaran. karena jika kesadaran itu tidak penting, kenapa rezim capek-capek ngurusin bocah dalam video yang mengatakan "Duit nomor 1 pilpres nomor 2", alasannya sederhana yakni hal itu membahayakan suara mereka.

Bayangkan kesadaran rakyat demikian, apa gak pusing para pembagi amplop? apa gak dipecat timsesnya? apa gak gulung tikar lembaga konsultan? sekali-kali kenapa pula rakyat dilarang mempermainkan elit. Oleh karenanya bagi oligarki penting untuk menebar ancaman, memberi ketakutan, karena dengan demikian rakyat tetap akan bodoh. Semakin bodoh rakyat, semakin banyak keuntungan bagi elite. Jadi pardoks berikutnya adalah, sulit untuk memberikan mandat "mencerdaskan kehidupan bangsa" pada mereka yang mencari keuntungan. Dengan demikian menurut penulis efek debat cukup besar, memang tidak langsung. Tapi alih-alih sosialisasi atau bahkan mencerdaskan kehidupan bangsa, justru sekedar panggung untuk saling mencari kesalahan.

Pada akhirnya, Rakyat mesti berjuang sendiri, menuntukan pilihan dengan mandiri, karena itulah prinsip mendasar dari demokrasi yakni kedaulatan rakyat.

Selamat berpesta,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun