Dalil pertama tentu saja bisa diterima ketika seluruh kompenen percepatan itu dipenuhi, kan namanya juga percepatan boleh dong gak semua dipenuhi? Semisal teknologinya berkala, gak langsung canggih semuanya?Â
Oke, fine, tapi penghilangan satu atau dua komponen tak boleh serampangan, itungannya harus jelas sebagai contoh dananya berapa? SDMnya gimana? Terus klo masalah yang akan ditimbulkan lebih buruk atau lebih baik?Â
Juga pertimbangan lain yang tidak kalah penting. Karena jika pertimbangan itu tidak muncul maka hasilnya justru menggambarkan dalil kedua yakni tidak sabar melenyapkan status quo atau dalam hal ini HMI seringkali memenangkan kontestasi di UIN bahkan meskipun calon HMI ada dua tapi mereka tetap menang.
Dalil kedua ini juga bisa di tolak, tapi bukan dengan logika transaksional semisal tadi "kan DEMA Univ HMI menang, yah fakultas PMII-lah biar impas". Penolakan dalil kedua itu semestinya karena status quo itu menistakan, mengancam atau buruk bagi masa depan berasama semisal penolakan atas patriarki bukan karena logika transaksional tetapi karena laki-laki di masa lalu sewenang-wenang memperlakukan perempuan. Bagimana cara membedakannya? Mana yang merupakan kepentingan segolongan orang dan mana yang merupakan kepentingan bersama?Â
Sejarah menunjukan bahwa pejuang feminisme bukan Cuma perempuan tapi juga laki-laki, artinya apa? Artinya perubahan atas status quo kalau benar hal itu buruk maka seringkali perlawanannya di dukung beragam pihak. Lalu bagimana dengan yang terjadi di UIN? Apakah penerapan itu di dukung beragam pihak atau justru dipaksakan oleh satu pihak? Begitulah ujung dari pertanyaannya.
Karena jawabannya akan lucu, alih-alih e-voting disebut sebagai langkah kemajuan atau kebaruan, justru niat dibaliknya malah konservatif dan egois yakni politik identitas.
Kenapa pula mahasiswanya diam?
Sesuai janji saya untuk membahas kegagalan kampus atau dunia akademis dan kaitannya dengan pemira UIN. Pertama, seluruh sistem perguruan tinggi dari mulai seleksi masuk sampai kelulusan menunjukan maksudnya yang utama yakni membentuk nalar akademis dengan asumsi ketika seseorang objektif maka pembangunan akan tercipta. Asumsi itu boleh kita perdebatkan tapi yang lebih penting adalah bagaimana faktanya?
Penerapan e-voting tanpa keseriusan telah menunjukan cara pandang mahasiswa yang serabutan, di satu sisi ia menerima e-voting dengan perhitungan kuantitatif dan logika transaksional namun dalam contoh yag berbeda justru mereka menolaknya.Â
Dan kita bisa berdebat apakah dua konsep itu boleh atau tidak, tapi yang saya fokuskan adalah peran kampus dalam hal ini telah gagal menciptakan seorang ilmuwan karena faktanya cara berpikir mahasiswa tidak sistematis, mereka menampah-kurangkan fakta sesuai kesukaan mereka. Emang apa hubungannya? Itu kan hak kita menerima dan tidaknya e-voting?
Oalah, kalau masih berpikir begitu, makin agal dunia akademis. Kenapa? Karena tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi pilihan atau kesukaan orang, tapi sekali lagi justru hal itu telah menggambarkan kegagalan sistem akademik.