Jumat sore itu terasa berbeda. Cahaya senja membias lembut di wajah-wajah penumpang yang lalu lalang. Kucing kesepian masih setia berbaring di sudut yang sama, seakan tak peduli dengan dunia yang bergegas. Namun, ada sesuatu yang janggal hari ini. Tatapan orang-orang terasa lebih dalam, lebih penuh makna. Seolah mereka membawa cerita masing-masing dalam diam.
Kereta melaju perlahan, membawa segudang cerita itu dalam setiap gerbongnya. Seorang ibu-ibu tenggelam dalam dunia buku, remaja-remaja bercanda riang, dan seorang bapak-bapak menikmati musiknya. Aku mengamati semuanya dengan rasa penasaran, mencoba mencari makna di balik setiap aktivitas. Namun, yang paling menarik perhatianku saat itu adalah suasana tenang yang menyelimuti kereta ini.
Dengan iktikad menghabiskan waktu, mataku tak sengaja bertemu pandang dengan sepasang mata yang elok di seberang gerbong. Tatapannya begitu dalam, seolah menembus jiwa, namun terasa akrab. Aku tertawan.
Siapakah dia? Apakah kita pernah bersua disuatu masa yang lampau?
Aku menundukkan kepala berusaha mengalihkan pandangan, pipiku terasa hangat. Padahal, sebentar tadi aku begitu menikmati pemandangan di sekitar: ibu-ibu yang asyik membaca, remaja yang tertawa riang, dan bapak-bapak yang asik berkaraoke sendiri. Namun, semua itu tak lagi menarik perhatian. Mengapa aku segan untuk menatapnya lebih lama? Apa yang sedang dipikirkannya? Apa yang membuatnya menatapku begitu lama? Seolah ada rahasia besar yang tersembunyi di balik tatapannya. Rasa penasaran itu seperti api kecil yang terus berkobar di dalam hatiku. Menembus jiwa. Membuahi seribu satu pertanyaan sehingga melahirkan seribu satu firasat.
Sejuta kata terucap dalam diam. Tatapan kami berbalas, saling mengisi kekosongan. Kami seperti dua buku tua yang menemukan pasangannya, setiap halaman menceritakan kisah yang saling melengkapi. Bersama, menjelajahi perpustakaan jiwa, menemukan sudut-sudut tersembunyi yang tak pernah terjamah. Kami seperti berdiri berdampingan di bawah atap rumah tua, berbagi cerita tanpa suara. Setiap tatapan adalah sebuah kata, setiap helaan napas adalah sebuah kalimat. Dunia di sekitar kami sirna, hanya ada kami berdua dan ritme detak jantung yang sama.
Kami berdiri di tengah kepadatan kereta diantara rutinitas manusia, namun dunia di sekitar kami seolah awawarna. Seperti Musa yang membelah Laut Merah, dibelahnya pula lautan manusia ini, menciptakan sebuah ruang hanya untuk kami berdua. Dalam lorong waktu yang terhenti, kami tenggelam dalam pandangan mata, saling menemukan kedalaman jiwa.
Sampai suara di kereta ini tiba-tiba menyadarkan kami berdua.
Destinasi terakhir ini sudah tidak ada kemenerusannya. Dan kami berduyun-duyun meninggalkan gerbong-gerbong ini bersama mereka yang masih tersisa, mereka yang masih akan melanjutkan pengembaraannya dan masih akan melanjutkan ceritanya.
Tak pernah kumelihat pemandangan yang lebih indah dari senja di Stasiun Bogor. Suara kereta yang menjauh perlahan pupus, meninggalkan keheningan yang syahdu. Matahari bagaikan bola api raksasa yang perlahan tenggelam ke dalam lautan, meninggalkan jejak warna jingga di langit. Lampu-lampu neon mulai berkedip, menandai pergantian siang dan malam. Aku berdiri di perbatasan antara dua dunia, antara kenangan masa lalu dan harapan di masa depan.
Dan kulihat dia di sana, berdiri di antara kerumunan manusia yang mulai memudar. Senyumnya yang meneduhkan terukir di wajahnya, matanya sedikit sayu. Dia melambai, tangannya memegang buku yang sedari tadi tidak dilepaskan. Aku ingin berlari menghampirinya, namun kakiku terpaku di tempat.