Mohon tunggu...
luthfiani nur azizah
luthfiani nur azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - kpi 2020

INFJ personality || KPI 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Permasalahan Dakwah Digital di Indonesia

28 Juni 2023   19:30 Diperbarui: 28 Juni 2023   19:36 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara Etimologi, Dakwah ialah memanngil atau menyeru, berasal dari Bahasa Arab Da'a- yad'u. Dakwah dalam istilah Islam ialah menyeru umat manusia untuk beribadah kepada Allah SWT yaitu dengan amar ma'ruf nahi munkar. Kewajiban Dakwah sendiri telah dibebankan kepada setiap orang yang baligh dan berakal. Rasulullah SAW. Adalah suri tauladan sekaligus figur utama dalam dunia dakwah. Rasululah SAW. Berdakwah dengan tutur kata yang lembut, santun, dan tidak menyakiti perasaan orang lain.  Tidak hanya itu, Rasulullah SAW. Juga senantiasa menjaga perilaku dan etika sehari-hari, sehingga tidak hanya berdakwah, namun dapat menjadi role model dalam kehidupan sehari-hari.

Metode dakwah sebenarnya tidaklah kaku dan terpaku pada satu hal. Namun, menyesuaikan karakter dan adat istiadat si mad'u. Jika para sahabat pendahulu berdakwah dengan cara ekspansi ke wilayah non-muslim, maka wali songo berdakwah di nusantara dengan cara kulturasi. Hal ini dikarenakan perbedaan watak dan karakter antara orang Indonesia dengan orang timur tengah. Orang timur tengah lebih cenderung bersifat keras dan gigih. Berbeda halnya dengan orang Indonesia yang cenderung bersifat lemah lembut. Sehingga dalam penyebaran ajaran islam, wali songo tidak perlu mengerahkan armada perang.

Sebelum era digital seperti sekarang ini, para da'i terbisa dengan metode face-to face dengan para audience. Mereka harus melewati medan terjal untuk berdakwah ke pelosok-pelosok dan menerobos gelapnya malam dengan modal lentera atau obor dengan segala resiko yang ada.

Namun seiring berkembangnya zaman, teknologi pun melaju dengan pesat. Menyuguhkan berbagai kemudahan dan kecepatan. Para da'i tidak perlu bersusah payah mendatangi majelis taklim satu persatu. Cukup dengan koneksi internet, konten dakwah dapat diakses hingga ke penjuru dunia. Baik muda-mudi, maupun orangtua dapat menikmati konten dakwah secara praktis,tanpa harus pergi ke majelis taklim. Cukup duduk manis atau mendengarkan sembari beraktivitas.

Sayangnya, tidak semua konten dakwah dapat diterima. Hal ini dikarenakan, tidak semua netizen tertarik pada konten dakwah.  Sebagian mereka lebih tertarik pada konten yang kurang bermanfaat, bahkan konten yang menimbulkan mudharat. Ironisnya, anak bawah umur dengan mudah mengakses segala konten yang ada di internet. Pada masa keemasan yang harusnya dididik secara optimal, malah terlena oleh konten yang kurang bermanfaat bahkan tidak patut dilihat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk berdakwah di era millennial. Para da'i dituntut menjadi kreatif dalam membuat konten dakwah. Tidak hanya itu, para da'I juga diharuskan mengikuti perkembangan informasi di tengah masyarakat luas. Hal ini tentu tidak mudah, berdakwah mengikuti zaman tanpa menghilangkan ajaran dan nilai-nilai islam. Ditambah lagi, dengan kemudahan akses internet, tidak menutup kemungkinan bagi oknum yang tidak bertanggungjawab untuk menghambat dakwah di dunia digital dengan cara yang tidak terpuji. Dengan ini, para da'I harus mempersiapkan secara fisik maupun mental walau berdakwah hanya melalui media digital.

Tidak sedikit pula, permasalahan dakwah datang dari si da'i itu sendiri. Sebagian para da'i kurang menyesuaikan gaya dakwahnya dengan situasi dan kondisi yang ada. Ada da'I yang memaksakan gaya dakwahnya sendiri. Namun ketika dakwahnya tidak direspon dengan baik, ia murka. Ada juga, seorang da'I yang berdakwah dengan gaya yang kekinian dan mengikuti perkembangan tren, namun malah menghilangkan nilai-nilai islam itu sendiri. Hal ini sugguh tidak dibenarkan. Sebagai da'i, hendaknya kita bercermin dan berbenah diri. Juga memperdalam ilmu keagamaan.

Permasalahan lainnya adalah kebanyakan netizen, khususnya Indonesia lebih tertarik menjadi penikmat konten daripada membuat konten. Sekalinya membuat konten, lebih tertarik membuat konten yang sensasional. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya berdakwah di era digital ini. Menjadi tenar dan banyak uang terlihat lebih menggiurkan daripada berdakwah dan mendapat ridha Allah SWT. Itulah yang menjadi orientasi sebagian orang di zaman sekarang ini.

Maka dengan ini, para da'i di era millennial harus mempersiapkan mental dan fisik. Juga segi keilmuan. Gagap teknologi adalah kata yang harus dihapuskan dari diri da'I, jika ia ingin berhasil berdakwah di era serba canggih ini. Kreatifitas para da'i pun di uji, bagaimana caranya agar konten dakwah yang disajikan lebih menarik daripada konten viral yang kurang bermanfaat. Walau bagaimanapun, para da'i harus berbenah diri, merenung dan bertafakkur. Sebagai da'i, bukan berarti suci dari dosa ataupun luput dari kesalahan. Hendaknya sebagai da'i kita turut mendakwahi diri kita sendiri. Karena hidayah seseorang pada hakikatnya atas kehendak Allah SWT. Dan bukan atas kerja keras da'i sepenuhnya. Kita hanya berikhtiar dengan segenap jasad dan pikiran untuk menunaikan perintah-Nya dan berserah diri pada-Nya. Wallahu a'lam bi as-shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun