Istilah syariat (syari'ah) menurut bahasa berarti jalan, yakni jalan besar di sebuah kota. Syariat pun berarti apa yang diturunkan Allah SWT, kepada para rasul-Nya, meliputi akidah dan hukum-huku, sedangkan secara khusus, syariat berarti hukum Islam. Syariat dalam arti luas adalah al-din, yaitu agama yang diturunkan Allah kepada para nabi, sebagaimana dijelaskan pada Q.S. Asy-Syura [42]: 13 yang berbunyi, "Dia (Allah) telat mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu terpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama apa yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)".
 Pengertian syariat dalam arti segala sesuatu yang dikandung di dalam Al-Qur'an dan sunah ditemukan dalam tulisan para ulama terkemuka seperti dalam kitab Al-Ta'rifat karya Ali bin Muhammad al-Jurjani dan kitab Al-Mustafa min 'Ilm al-Usul karya Imam Al-Ghazali. Mereka berpendapat bahwa syariat identic dengan al-din (agama) dan tidak identik dengan fikih. Sementara itu, fikih, seperti didefinisikan oleh Imam Syafi'i, adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersifat amaliah dan diperoleh melalui ijtihad yang dalilnya dijelaskan secara rinci. Bagi para sufi, sebetulnya tasawuf dan syari'ah tidak dipandang sebagai dua dimensi yang bertentangan, akan tetapi mereka saling melengkapi satu sama lain dan merupakan dari satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meskipun demikian, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat masih banyak terjadi pertentangan dan konflik antara kedua penganut dimensi Islam tersebut. Seiring dengan berjalannya sejarah peradaban Islam, telah muncul di tengah-tengah masyarakat yang ahli dalam bidang tasawuf dan melahirkan konsep masing-masing. Banyak perbedaan dan persamaan yang muncul diantara mereka. Jelasnya tasawuf merupakan tradisi keilmuan Islam yang berjasa sebagai disiplin ilmu dan mampu memberikan solusi kepada manusia yang merasa belum puas dengan ibadah formal yang sudah ditentukan oleh ahli fiqih.
KETERPADUAN SYARIAT DENGAN TASAWUF
Pada bab ini, akan dielaborasi integrasi syariat dengan tasawuf pada tataran konsep dan penerapan yang merupakan modal pokok dalam membangun kepribadian muslim. Upaya ini dimaksudkan untuk menguatkan kembali kepribadian muslim yang dewasa ini terasa rapuh agar kembali kokoh. Memberikan tekanan kepada salah satu di antara syariat dan tasawuf, apalagi memisahkan di antara keduanya, akan menghasilkan kepincangan dan menyalahi prinsip keseimbangan dalam Islam. Keseimbangan dalam Islam bukan hanya antara lahiriah dan batiniah, tetapi juga antara ketekunan dalam beribadah dengan tanggung jawab sosial, kehidupan pribadi dan kehidupan sosial, serta perbaikan komunikasi personal dengan Allah dengan perbaikan komunikasi multikultural dengan sesama manusia. Dengan membangun keseimbangan tersebut, seseorang akan berhasil mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang kokoh dalam beragama, menjalani hidup dengan matang di tengah-tengah masyarakat, serta berhasil memosisikan dirinya menjadi generator yang membangkitkan corak beragama yang menumbuhkan kepribadian muslim seperti yang dicontohkan Rasulullah. Berdasarkan trilogi ajaran Islam tersebut, akan dielaborasi konsep keterpaduan syariat dengan tasawuf yang dijelaskan sebagai berikut.
1. Ihsan: Esensi Kerohanian dalam Islam
Banyak ayat Al-Qur'an yang mendorong umat Islam untuk mengembangkan kualitas nurani manusia (al-damir al insani) agar merasakan ihsan, yakni beribadah kepada Allah SWT, seakan-akan melhat-Nya, meskipun manusia tidak dapat melihat-Nya, karena Allah SWT, senantiasa melihat manusia. Esensi ihsan terletak pada kesadaran bahwa manusia setiap saat berada dlam pengawasan Allah SWT, dan para malaikat, baik di dalam sholat maupun di luar sholat. Kesadaran itu terletak pada kalbu yang memiliki dua kekuatan, yaitu al-quwwat al-zawqiyyah (kepekaan emosi) dan al-quwwat al-ruhiyyah (kepekaan spiritual). Dengan demikian, ihsan merupakan modal kerohanian (spiritual capital) untuk menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab dalam melahirkan kebaikan kepada manusia dan lingkungan hidup.
2. Ihsan adalah Tasawuf, Tasawuf adalah Ihsan
Ihsan adalah tasawuf qur'ani, suni, akhlaki, amali, dan salafi yang tidak bercampur dengan syatahat dan bid'ah. Mahmud Amin al-Nawawi, Guru Besar Universitas Al-Azhar, menyatakan, "Tasawuf yang bercampur dengan syatahat dan bid'ah yang keluar dari kebiasaan para salaf saleh generasi awal merupakan sesuatu yang (menyimpang). Dosanya lebih besar dari manfaatnya, sedangkan keburukannya lebih banyak dari kebaikannya. Junayd al-Bagdai memandang bahwa semua jalan rohani tertutup bagi manusia, kecuali jalan rohani yang sesuai dengan asar (peninggalan) Rasulullah SAW (sunnah)".
UPAYA MEMADUKAN KEMBALI FIQH DENGAN TASAWUF
Perpaduan fikih dengan tasawuf merupakan perpaduan antara law dan morality. Substansi syariat atau fikih adalah aturan-aturan dan norma-norma hukum yang memberikan arah dan tujuan agar ibadah, pengabdian, dan penyerahan diri manusia kepada Allah SWT dilakukan dengan benar sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana digariskan di dalam Al-Qur'an dan sunah Nabi Muhammad SAW, serta membawa dampak pada penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Syariat atau hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari dimensi akhlak, bahkan dalam keadaan tertentu dituntut untuk mengedepankan akhlak atas hukum. Seseorang yang memadukan pengamalan syariat dengan tasawuf secara baik dan benar akan menghindari paham spiritualisme yang tercermin dalam gaya hidup, antara lain:
1. Lebih mengutamakan dimensi batin daripada dimensi lahir.