Saat ini media sosial telah menjadi hal yang sangat krusial di tengah masyarakat Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, kemudahan dan kecanggihan fitur sosial media cukup menarik perhatian banyak orang untuk bisa berekspresi dan bebas mengutarakan pendapatnya di sosial media. Ditambah lagi hal tersebut sudah diatur dalam hukum undang-undang Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi:
"Setiap orang memiliki kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan berpendapat".Â
Hal ini juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:
"Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat seusai dengan hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara".
Namun ditengah maraknya hak kebebasan dalam berpendapat, ada berbagai macam tantangan yang dihadapi masyarakat dalam mengekspresikan haknya. Tantangan nyata yang kerap kita jumpai saat ini adalah perundungan (bullying), menghakimi, ujaran kebencian, hoax, dan salah satunya penurunan norma beretika di masyarakat. Seperti kasus yang dialami Florence Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada (UGM). Kasus ini bermula saat Florence Sihombing mengungkap kekesalannya di sosial media Path terkait pelayanan yang Ia terima di SPBU Lempuyangan.Â
Salah satu ungkapannya bertuliskan "Jogja miskin, tolol, miskin, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta, Bandung, jangan mau tinggal di Jogja" Lalu seseorang di jaring pertemanan Path Florence meng-screen capture postingan tersebut dan merepostnya ke jejaring media sosial. Apa yang telah diungkapkan Florence dalam jejaring sosial media nampaknya memecut amarah warga Jogja, hal ini lantaran tindakan yang dilakukan Florence dianggap telah menjelek-jelekkan warga Jogja.Â
Berselang 2 hari setelah kejadian, Florence dialporkan ke Polda Daerah Istimewa Yogyakrta (DIY) dan statusnya dinaikkan menjadi tersangka. Atas perbuatannya Florence diancam Pasal 311 KUHP Pasal 28 ayat 2 Tahun 2008 tentang Pencemaran Nama Baik dengan ancaman hukuman penjara 4-6 tahun. Serta Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman maksimal 6 tahun dan atau denda Rp 1 miliar.Â
Di sisi lain Ketua AJI Yogyakarta, Hendra Setiawan mengatakan Undang-Undang yang dijadikan landasan hukum dalam kasus Florence dianggap terlalu mengucilkan kebebasan pendapat di era maraknya penggunaan sosial media. Pihak Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mengatakan hal serupa, apa yang dialami Florence adalah jenis kasus yang berada di ranah etika, bukan hukum.Â
Akan lebih baik jika kita menyelesaikannya dengan cara mediasi antar pihak yang bersengketa. Sayangnya pihak pertama yang menyebarkan postingan pribadi Florenece belum diketahui sampai saat ini, padahal jika ditelusuri kembali Ia selaku pihak pertama yang menyebarkan postingan tersebut kemungkinan besar bisa dijerat UU ITE Pasal 26 ayat 1 Â tentang Penyebaran Data Pribadi Seseorang. Setelah kejadian tersebut Florence mengalami perundungan dari lingkungan sekitarnya, bahkan parahnya ada sebuah aksi rasisme dan rencana pengusiran Florence dari Yogyakarta.
Sejatinya kebebasan berpendapat di sosial media adalah hal yang wajar, mengingat saat ini kita hidup di era reformasi. Yang mana pada dasarnya kebebasan pers bertujuan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Akan tetapi, pemanfaatan hak yang salah justru akan menjadi bumerang dan ancaman bagi diri sendiri bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Â
Memang tidak ada batasan pasti terkait penggunaan sosial media, karena sosial media merupakan dunia maya dimana setiap orang bebas mengekspresikan diri sesuai dengan keinginannya. Namun realitanya perkembangan media sosial saat ini justru diiringin dengan dilema beretika yang semakin menurun. Bisa dilihat dari persebaran isu-isu yang berbau SARA, bullying, hoax, dan mengundang banyak kotroversi.Â