Secara bahasa, wakaf berasal dari kata "waqafa" yang berarti habasa. Jadi, al-waqf sama dengan al-habs yang artinya menahan.[1] Sedang menurut istilah, wakaf adalah “menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya dan digunakan untuk kebaikan.”[2] Ada juga yang memberi pengertian bahwa wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.[3] Meskipun Al-Qur`an tidak menyebutkan secara tegas, akan tetapi terdapat beberapa ayat yang dapat dijadikan sandaran hukum wakaf, yaitu dalam surat Ali Imran ayat 92 dan an-Nahl ayat 97.
Dalam rumusan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 1 ayat (1) yang juga ditegaskan dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 215 dinyatakan, “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.”[4]
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cakupan pengertian wakaf meliputi: harta benda milik seseorang atau kelompok orang; harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai; harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya; harta yang dilepas kepemilikannya tersebut tidak boleh dihibahkan, diwariskan, atau diperjualbelikan; manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.
Filosofi yang terkandung dalam amalan wakaf adalah ketika wakaf ditunaikan, maka terjadi perpindahan kepemilkan. Dari kepemilikan pribadi menuju kepemilikan masyarakat umum, yang diharapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkelanjutan.[5] Oleh karena itu, diharapkan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).
Wakaf adalah ibadah maliyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi penting, strategis, dan menentukan dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Namun, manfaat wakaf kurang dapat dirasakan dan didayagunakan secara optimal untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di Indonesia. Di antara kendalanya adalah:wakaf dipahami hanya berbentuk barang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Kedua, kendala utama pelaksanaan wakaf tunai, khususnya dalam hal sosialisasi kepada masyarakat. Ini dikarenakan belum adanya undang-undang wakaf yang spesifik sebagaimana undang-undang zakat. Ketiga, belum optimalnya lembaga-lembaga pengelola wakaf (nadzir) dalam mengelola wakaf yang semestinya keberadaannya menjadi faktor penentu dalam pemanfaatan harta wakaf dan digunakan dalam bentuk produktif, misalnya upaya peningkatan kegiatan usaha kecil, dan lain sebagainya. Kendala utamanya adalah belum adanya regulasi yang jelas di mana wakaf menjadi sumber pendanaan yang tiada habis-habisnya bagi pengembangan ekonomi umat seperti yang telah dikembangkan di Negara-negara besar lainnya, seperti Mesir dan Bangladesh.
PENDAYAGUNAAN WAKAF DALAM USAHA PRODUKTIF
Praktik wakaf sebenarnya telah dimulai sejak zaman sahabat Nabi Muhammad Saw dengan sangat sederhana, yaitu hanya sebatas mewakafkan tanah pertanian untuk dikelola dan diambil hasilnya. Kemudian, hasilnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.
Pada fase perkembangan selanjutnya, wakaf tunai telah menjadi perbincangan di antara ulama. Seperti, al-Zuhri (124 H), sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Bukhari (252 H). Ia berpendapat bahwa mewakafkan dinar dan dirham hukumnya diperbolehkan. Caranya ialah menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
Di era modern ini, wakaf tunai telah dipopulerkan oleh M.A. Mannan dengan mendirikan suatu badan yang bernama SIBL (Social Investment Bank Limited) di Bangladesh. SIBL memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) yang pertama kali dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari orang kaya untuk dikelola dan keuntungan pengelolaan disalurkan kepada rakyat miskin.
Bangladesh merupakan negara berpenduduk mayoritas miskin, yang kurang lebih mirip dengan Indonesia. Kini, penduduk miskinnya mencapai 60 persen. Bila produk Sertifikat Wakaf Tunai ini cocok untuk Bangladesh, maka produk ini pun kiranya cocok untuk diterapkan di Indonesia dan memiliki peluang yang cukup besar. Dengan dukungan hampir 85 persen masyarakat Muslim, rasanya instrumen keuangan Islam ini sangat cocok diterapkan di negara kita.
PERAN PERBANKAN SYARIAH SEBAGAI NADZIR (PENGELOLA DANA WAKAF)
Melihat potensi dana wakaf yang sangat besar, maka perlu ada profesionalisasi dalam pengelolaannya (dalam hal ini dewan nadzir). Oleh karenanya dalam kaitan ini, keberadaan bank-bank syariah dipandang sebagai lembaga alternatif yang cukup representatif dalam mengelola dana amanah tersebut.
Untuk lebih memahami beberapa jauh kemungkinan-kemungkinan yang dapat dimainkan perbankan syariah dalam mengelola wakaf tunai, ada baiknya kita mengetahui ketentuan-ketentuan perbankan dalam kegiatan usaha bank yang terkait dengan masalah wakaf, antara lain: SK Dir.BI No.32/34/KEP/DIR tanggal 19 Mei 1999, tentang bank umum berdasarkan prinsip syariah, pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul maal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).”
Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa secara umum bank syariah dapat mengambil peran sebagai penerima dan penyalur dana wakaf, sedangkan peran bank syariah sebagai pengelola dana wakaf tidak disebutkan secara eksplisit. Wewenang pengelolaan ini dipandang penting karena berbeda dengan dana sosial lainnya, seperti zakat, infaq, dan shadaqah. Dana wakaf tidak dibagikan langsung kepada yang berhak melainkan harus dikelola terlebih dahulu untuk kemudian hasilnya dibagikan kepada yang berhak.
Adapun peranan perbankan syariah dalam Investasi wakaf setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan dapat mengoptimalkan operasional Investasi wakaf sebagai berikut: (1) Jaringan Kantor. Jaringan kantor perbankan syariah relatif lebih luas dibandingkan dengan lembaga keuangan syariah lainnya. Luas jaringan tersebut mencapai 174 kantor di hampir seluruh wilayah Indonesia serta tingkat pertumbuhan jumlah kantor bank syariah yang mencapai 2,1% per bulan. Oleh karena itu, fenomena ini merupakan faktor penting dalam mengoptimalkan sosialisasi penggalangan dana wakaf serta penyalurannya. (2) Kemampuan Sebagai Fund Manager. Lembaga perbankan adalah lembaga pengelola dana masyarakat. Dengansendirinya, lembaga tersebut haruslah merupakan lembaga yang memiliki kemampuan untuk mengelola dana dan dihaharapkan dapat berperan sebagai lembaga alternatif yang mampu mengelola dana wakaf tunai yang nantinya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, khususnya kepada wakif. (3) Pengalaman, Jaringan Informasi dan Peta Distribusi. Perbangkan syariah adalah lembaga perbankan yang memiliki pengalaman, informasi, serta peta distribusi yang cukup luas sehingga pengelolaan wakaf tunai diharapkan tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana saja, akan tetapi juga dapat mengefektifkan penyalurannya sesuai dengan yang diinginkan. (4) Citra Positif. Dengan adanya ketiga hal di atas, diharapkan akan menimbulkan citra positif pada gerakan wakaf tunai itu sendiri maupun pada perbankan syariah pada khususnya.
Adapun alternatif peran bank syariah dalam wakaf tunai antara lain: sebagai nadzir penerima, penyalur, dan pengelola dana wakaf. Sebagai nadzir penerima dan penyalur dana wakaf. Sebagai pengelola dana wakaf, dan sebagai kustodi.
Secara internal, wakaf berdayaguna untuk mendongkrak perekonomian umat dan meningkatkan kesejahteraan umat. Terlebih jika ada lembaga wakaf yang mengelola dana wakaf ini secara profesional (dalam hal ini terutama perbankan syariah), maka akan menjadi lahan baru bagi masyarakat Muslim menengah untuk beramal.
Asumsi jika kondisi awal menurunnya suku bunga dapat menaikkan investasi, dan pendapatan, dalam hal ini kita dapatkan penggerak baru investasi sebagai solusi alternatif dalam upaya untuk menghapuskan sistem bunga dan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan semakin banyaknya dana investasi wakaf yang ada, maka akan menambah potensi investasi/dibukanya lapangan kerja baru yang akan menyerap tenaga kerja. Hingga implikasi akhirnya adalah akan menaikkan pendapatan masyarakat, mengurangi kemiskinan, mengurangi pengangguran yang ada, serta memperkuat perekonomian bangsa.
[1]Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, cet ke-6, jilid 3., h. 515
[2]al- Kamal bin al-Hammam, Fath al-Qadir ad-dar al-Mukhtar, Jilid 3, h. 351
[3]Taqiyudin Abi Bakar, Kifayah al-Akhyar, Juz 1,Mesir: Dar al-Kitab al-Araby, tth., h. 319
[4]Abd. Rahman SH, Masalah Perwakafan, Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, Alumni Bandung, Cet-ke 2, 1984, h. 6
[5] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Bairut: Dar al-Fikr, 1984, Juz 8, h. 109
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H