Rokok secara luas telah menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Berdasarkan hasil penelitian hingga menjelang tahun 2030 kematian akibat merokok akan mencapai 10 juta orang pertahunnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok yang tinggi dimana jumlah pecandu rokoknya berjumlah 65 juta orang.
[caption id="attachment_187909" align="alignleft" width="300" caption="0,3"][/caption]
Ada sekelompok orang yang peduli terhadap masalah kecanduan merokok salah satunya adalah seorang ilmuan Belanda, Profesor Arie Dijkstra. Beliau menemukan sebuah solusi baru untuk bagi perokok aktif yang ingin berhenti merokok namun tidak bisa. Menurutnya, seorang perokok aktif akan cenderung akan berhenti merokok ketika si perkok diberi peringatan secara personal. Misalnya, si perokok namanya Joko,”ehm Joko, kamu bisa kena kanker paru paru lo kalau merokok terus” atau “eh Joko, kalau kamu merokok terus, kamu bisa meninggal lo”. Dan berdasarkan survei, peringatan ini jauh lebih efektif daripada “jangan merokok” atau “dilarang merokok” saja.
Penelitian yang dilakukan oleh profesor yang sekarang aktif di University of Groningen ini, menunjukan bahwa respon perokok terhadap suatu peringatan sangat berbeda atau dapat dikatakan menolak untuk berhenti. Hal ini memang benar terjadi pada teman saya, ketika salah satu teman saya menyaksikan acara telivisi yang membahas tentang bahaya merokok dapat menyebabkan kematian, dia justru bilang “mana buktinya, sampai sekarang aku belum mati tu.haha”.
Profesor dijkstra telah melakukan survei kepada sejumlah perokok mengenai respon terhadap sebuah peringatan bahaya merokok. Sepertinya penjelasan dimuka, peringatan merokok yang diberikan adalah secara personal. Dari hasil survei, bagi para perokok yang baru merokok dalam waktu 3 tahun atau kurang menunjukkan reaksi yang cenderung untuk tidak berhenti merokok. Sebaliknya, bagi orang sudah merokok selama 5 tahun atau lebih, akan cenderung untuk berhenti merokok ketika membaca peringatan tersebut. Terlihat dari hasil penelitian terdapat 2 group perokok yang menanggapi peringatan tersebut. Dan seharusnya para police maker atau pemerintah menyadari bahwa kampanye informasi kesehatan akan ditanggapi berbeda oleh beberapa kelompok.
Menurut profesor yang menggeluti masalah kecanduan dan psikologi ini, sebuah program berhenti merokok bisa efektif jika mereka memperhitungkan perbedaan respon yang terjadi. Maksudnya kita dapat menyisipkan nama si perokok di dalam peringatan bahaya merokok terhadap sekelompok perokok yang merespon positif terhadap itu. Namun sebaliknya jangan pernah untuk menyelipkan nama si perokok pada sekelompok perokok yang menanggapinya secara negatif.
Profesor Dijkstra juga mempelajari beberapa kalimat peringatan yang tidak mungkin berhasil membuat perokok untuk behenti merokok. Misalnya, peringatan tersebut berbunyi “apakah anda tahu merokok sering sekali menyebabkan kebakaran dan penggundulan hutan akibat konstruksi pabrik tembakau, untuk itu berhentilah merokok!”. Peringatan jenis ini dengan atau tanpa nama si perokok tentu saja tidak akan memberi dampak apapun terhadap pembacanya. Menurutnya, jangan membuat peringatan yang berisi data statistik yang menunjukan betapa sulitnya untuk berhenti merokok. Jangan membuat perokok depresi atau kalah sebelum bertanding, namun “tunjukan kepada perokok bahwa berhenti merokok adalah membutuhkan proses atau waktu” kata profesor yang lahir di Hoogeeven pada tahun 1961.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H