Mohon tunggu...
Luthfi Merasa
Luthfi Merasa Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ahmad

14 Mei 2017   05:13 Diperbarui: 14 Mei 2017   05:16 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seingatku, aku tak punya kawan atau saudara lain di masa kecilku selain Ahmad. Dia satu-satunya orang yang tetap setia dan mau menjadi kawanku. Dia begitu baik, penyayang, dan tak bisa kulupa, dia selalu ada setiap aku membutuhkan kehadirnnya. Aku sering menyuruh dia mengerjakan hal-hal yang sebenarnya tak pantas ia lakukan. Aku ingat betul, pernah aku perintah dia untuk nyuci pakaian kotorku. Tanpa komentar atau pun menolak, dia melaksanakan dengan suka rela.

Memang, sejak kedua kakiku diamputasi akibat luka parah karena kecelakan yang menimpa diriku beberapa tahun yang lalu, aku seakan jadi babi yang tak bisa berbuat apa-apa selain makan dan tidur. Bahkan untuk pergi ke kamar mandi saja, aku harus minta bantuan orang lain untuk memapahku dan kemudian mengembalikanku ke tempat pembaringan semula.

Tak ada orang yang aku bisa minta pertolongan kecuali Ahmad. Kedua orang tuaku sudah lama tiada dan aku hidup sebatang kara. Kerabatku yang lain, seperti paman bibi dan yang lainnya sudah tak mau merawatku. Aku memang terkenal sebagai anak nakal dan selalu berbuat onar di mana-mana. Bahkan, pernah satu kali aku melayangkan nyawa salah satu temanku sendiri. Alsannya sebenarnya sederhana, aku hanya tidak mau dipermalukan di hadapan orang banyak akibat kalah lomba dengan temannku itu. Dan barangkali itu alasan sanak saudaraku tidak mau merawatku.

Mengingat itu semua, aku tak kuasa menahan air mataku yang tiba-tiba mengucur di kedua pipiku. Aku begitu sedih. Hatiku rapuh. Seakan tak percaya dengan apa yang kulakukan di zaman dulu. Setiap hari hanya membuat orang di sekitar semakin membenciku. Serupa dengan apa apa yang kulakukan pada Ahmad. Dia adalah saudara jauh denganku. Ahmad dipercaya kedua orang tuaku untuk mengawasi gerak gerik sekaligus diminta supaya mendidikku dan merubah diriku menjadi orang yang lebih baik.

Namun, apa yang terjadi? Aku malah membuat dia babak belur. Mukanya hampir tak dikenal sebab lumuran darah di wajahnya begitu banyak. Ya… aku memukul dia menggunakan parang peninggalan ayahku. Aku begitu membencinya. Menurutku dia telah merebut kasih sayang orang tuaku dan lambat laun mungkin akan mengganti posisiku sebagai anak mereka, meski pada kenyatannya orang tuaku telah meninggal.

Berbulan-bulan dia dirawat di rumah sakit. Ketika telah sembuh, aku baru menyadari bahwa Ahmad tidaklah seperti yang aku pikirkan selama ini. Dia hanya berusaha menepati janjinya kepada orang tuaku; menjaga dan merawatku, tak ada maksud lain. Sejak kejadian itu, aku pelan-pelan mulai sadar dan meminta maaf atas semua yang telah kulakukan padanya. Ahmad memafaafkannku dan tak mempermasalahkannya. Sejak saat itu pula aku berjanji akan mengikuti semua yang dia katakana.

“Selama ini aku sangat menyayangimu dan berharap kau mau berubah, Saudaraku.” Ucapnya diiringi senyum yang amat indah. Aku hanya bisa tertunduk malu mandengar 

Hari demi hari kami—aku dan Ahmad—lalui. Seolah tak ada masalah yang kami hadapi. Kami benar-benar menjadi sahabat, atau baragkali telah menjadi saudara, yang sangat akrab. Menjadi kakak-adik yang saling melengkapi kehidupan kami. Ahmad sangat menyayangiku, begitupun diriku. Aku merasa mendapatkan kembali kasih sayang yang dulu sempat hilang. Kami hidup bahagia. Hingga pada suatu waktu aku mengalami kecelakaan yang mengharuskan kedua kakiku direlakan untuk 

Aku begitu sedih dengan keadaanku kala itu. Seakan hidupku sudah tak berguna lagi. Ingin rasanya aku mengakhiri hidupku agar penderitaanku hilang dan tak lagi menyusahkan orang lain, temasuk Ahmad. Setelah sekian banyak kenakalanku padanya, aku tak ingin jika harus membuat dia kerepotan mengurusku. Sudah cukup aku buat dia sengsara selama ini. Sekarang aku takkan aku ulangi  hal semacam 

Namun aku salah. Dia tetap pada prinsipnya semula; menjaga dan merawatku seperti janjinya pada kedua orang tuaku dulu. Dengan keadaanku yang tak dapat berbuat apa-apa, dia masih rela dan lapang dada mau merawatku, termasuk memandikanku, meski saat itu aku selalu marah-marah dan mengatakan tak ada gunanya aku hidup lebih lama 

Kini Ahmad telah tiada. Kecelakaan maut yang menimpanya mengahruskan ia pulang keharibaan-Nya lebih awal. Ia mengalami kecelakaan tatkala mau henda pergi ke kampus tempat dia kuliah. Tuhan begitu cepat mengambil dia dari kehidupanku. Seolah membuat diriku kembali pada masa laluku; sendiri dan tak punya siapa-siapa. Aku ingat betul kata-kata yang sempat ia lontarkan sebelum pergi. “Jangan takut saudaraku. Hidup ini memang berat dan menyedihkan. Tapi, kau tak perlu memikirkan itu semua. Jalani saja hidup ini dengan sepenuh hati. Selalu tanamkan keikhlasan dan ketabahan di setiap langkahmu. Dan ingat, takkan ada ruginya apabila kau  berbuat baik pada orang  Kata-kata itu akan selalu kuingat, “Terimakasih atas semua yang telah kau lakukan padaku, Saudaraku. Aku akan selalu mengenangmu di sepanjang hidupku.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun