Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman budaya, bahasa,
dan tradisi yang masing-masing memiliki nilai keunikannya tersendiri. Dari
keberagaman dan keunikan itu justru menjadikan hal tersebut sebagai ciri khas suatu
daerah. Begitupun dengan Solo yang merupakan salah satu kota di Jawa Tengah
yang juga memiliki berbagai tradisi, dan salah satunya adalah "Sekaten".
Sekaten adalah salah satu tradisi yang biasa dirayakan setiap tahun untuk
memperingati Maulid atau hari lahirnya Nabi Muhammad Saw. Sekaten biasanya
diadakan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta setiap tanggal 5 sampai 11
Rabi'ul Awal dan ditutup dengan upacara Gerebeg Maulid pada tanggal 12 Rabi'ul
Awal. Nama "sekaten" itu sendiri diadaptasi dari bahasa Arab, yakni kata
"syahadatain" yang memiliki arti "persaksian (syahadat) dari dua". Kemudian dari
makna tersebut meluas menjadi: Sahutain (menghindari dari perkara dua, yaitu sifat
lacur dan menyeleweng),Sakhatain (menghilangkan dua perkara yakni, watak
hewan dan sifat setan), Sakhotain (menanamkan dua perkara, yakni selalu berbudi
luhur yang mengabdikan diri pada Tuhan), Sekati (seimbang,yang dimaksud
seimbang adalah orang hidup harus bisa menimbang baik buruknya suatu perkara),
Sekat (batas, kita harus mampu membatasi diri dari perbuatan buruk). Sekaten
menjadi acara tahunan di Solo sejak abad ke 15, dan acara sekaten berkaitan erat
dengan sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa. Dimulai dari wali songo yang
menjadi tokoh utama dibalik lahirnya tradisi sekaten, yang dimana lewat tradisi
tersebut digunakan wali songo untuk media dakwah menyebarkan agama Islam di
Pulau Jawa. Pada awalnya sekaten adalah kelanjutan dari upacara tradisional yang
dilaksanakan raja-raja Jawa sejak zaman Kerajaan Majapahit. Namun, lambat laun
tradisi sekaten berubah dan digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam
khususnya di Jawa Tengah.
Biasanya pagelaran sekaten di Solo diadakan selama sebulan penuh dan
dimulainya acara sekaten ditandai dengan membunyikan gamelan yang akan diarak
sampai Masjid Agung Surakarta dan acara ini berlangsung dari tanggal 5 -- 12
Rabi'ul Awal yang dimana gamelan akan dibunyikan secara terus menerus. Setelah
itu, acara selanjutnya yakni Tumplak Wajik dan Gerebeg Maulud. Acara Tumplak Wajik adalah upacara yang dilaksanakan selama dua hari pada tanggal 8 Rabi'ul
Awal dengan memainkan lagu menggunakan kentongan untuk menandai bahwa
pembuatan gunungan telah dimulai. Sedangkan untuk lagu-lagu yang dimainkan
dalam upacara Tumplak Wajik adalah Lompong Keli, Owal Awil, Tudhung Setan,
dan lain sebagainya.
Acara selanjutnya adalah acara Gerebeg Maulud yang akan dilaksanakan
pada tanggal 12 Rabi'ul Awal. Acara Gerebeg Maulud adalah puncak acara dari
tradisi sekaten yang dimana dalam acara tersebut terdapat gunungan yang terbuat
dari buah-buahan, sayur-sayuran, dan beras ketan. Pada upacara Gerebeg Maulud
ini terdapat enam gunungan yang akan diantarkan secara beramai-ramai dari
kompleks Keraton menuju Masjid Agung. Ada enam gunungan yang nantinya akan
dibawa yakni Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan Gepak, Gunungan
Dharat, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Picisan. Dikutip dari Jogjaprov.go.id,
gunungan dalam upacara tersebut bermakna alam yang hidup,
kesuburan,kemakmuran, dan kehidupan. Gunungan Kakung melambangkan
kepribadian sang baginda raja, Gunungan Putri melambangkan kepribadian sang
permaisuri, Gunungan Dharat melambangkan para pangeran-pangeran, Gunungan
Gepak melambangkan para putri raja, dan Gunungan Pawuhan melambangkan
cucu-cucu raja. Gunungan dalam acara Gerebeg Maulud adalah pewujudan do'a
dan keselamatan yang melambangkan kesejahteraan Kerajaan, dan setelah
dido'akan gunungan tersebut akan dibagikan pada Masyarakat.
Adapun acara sekaten sebulan penuh yang disebutkan diawal ialah acara
lanjutan dari sekaten yang biasa disebut sekatenan. Sekatenan merupakan acara
semacam pasar rakyat yang dimana selama sebulan itu di Alun-Alun Kidul atau
Selatan Keraton akan diramaikan dengan berbagai wahana diantaranya tong setan,
sangkar burung, rumah balon, dan lain sebagainya. Tak hanya wahana saja namun
juga menyediakan berbagai stand-stand makanan, minuman, pakaian, dan bahkan
stand mainan-mainan tradisional yang menjadi ciri khas dari sekatenan seperti
kapal-kapalan, alat masak-masakan dari gerabah, dan juga boneka dari akar wangi.
Selama acara sekatenan di Alun-Alun Selatan biasanya akan dipenuhi orang- orang
dari berbagai golongan, entah anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan sampai
orang tua pun juga tak mau kalah untuk ikut serta dalam meramaikan acara sekaten
ini.
Menurut tulisan saya diatas, tradisi sekaten memiliki peran penting dalam
penyebaran islam di Jawa khususnya Jawa Tengah. Dimulai dari wali songo,
kemudian diteruskan raja-raja Jawa hingga berjalannya waktu sekaten masih
dilaksanakan sampai saat ini. Alangkah baiknya sekaten masih dilaksanakan dan
diramaikan guna menjaga kelestariannya dan memberdayakan ekonomi para
pedagangnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H