Mohon tunggu...
Luthfi Fauziyyah
Luthfi Fauziyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Financial

Potensi Krisis Pangan Sebagai Akibat Tingginya Harga Gandum

29 September 2022   10:55 Diperbarui: 29 September 2022   11:03 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibandingkan beras, gandum merupakan produk pangan yang paling banyak diproduksi Indonesia. Jumlah konsumsi gandum meningkat dari 10,1 juta ton yang dikonsumsi pada tahun 2020--2021 menjadi 10,4 juta ton pada periode 2021--2022. Penduduk Indonesia menyukai makanan yang berasal dari gandum seperti mie dan roti. Menurut World  Instant Noodles Association, konsumsi mi instan di Indonesia meningkat sebesar 4,98% pada tahun 2021 dibandingkan tahun sebelumnya. Setelah China, Indonesia disebut sebagai negara konsumsi mie terbanyak kedua di dunia. Konsumsi yang tinggi mengakibatkan Indonesia harus mengimpor gandum dari Negara lain karena tidak mampu untuk memproduksi gandum sendiri dan sejak tahun 2019-2020 Indonesia telah menjadi Negara pengimpor gandum terbanyak di dunia.

Dimulai pada tahun 2022 ketika Rusia menginvasi Ukraina, isu global muncul sebagai akibat dari hal ini, khususnya masalah pangan. Melonjaknya harga gandum adalah salah satu dampaknya. Invasi tersebut menghambat ekspor gandum dan berdampak pada negara-negara yang mengimpor gandum dari Rusia dan Ukraina, termasuk Indonesia.

Apabila hal ini terus dibiarkan maka akan terjadi krisis pangan apalagi gandum yang kita konsumsi 100 persen impor. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan pemerintah harus menyadari bahwa Indonesia sangat ketergantungan terhadap impor gandum. Tentunya ini menjadi PR pemerintah untuk mengembangkan gandum lokal untuk pemenuhan pangan dalam negeri.

Keseimbangan Pasar

Keseimbangan pasar dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran dengan menggunakan asumsi ceteris paribus. Dalam ilmu ekonomi, permintaan dapat diartikan apabila jumlah barang yang diminta akan turun ketika harganya naik. Sedangkan menurut prinsip penawaran, jika harga suatu barang naik, maka kuantitas yang ditawarkan akan naik. Ketika harga mi instan naik di atas harga keseimbangan, maka kuantitas yang ditawarkan akan tumbuh relatif terhadap kuantitas yang diminta, atau dengan kata lain, produsen akan memproduksi mi instan lebih banyak sedangkan keinginan konsumen untuk membeli mi instan menurun. Sedangkan dalam sisi permintaan, konsumen akan mengkonsumsi lebih sedikit mi instan jika harganya naik.

Mie Instan

Menurut Menteri Pertanian Syahrul Limpo, memperkirakan harga mi instan akan naik tiga kali lipat pada awal Agustus. Klaim ini tentunya memicu perdebatan. Sebenarnya, kenaikan harga mi instan tidak naik tiga kali lipat karena perhitungan biaya produk akhir tidak hanya ditentukan oleh harga satu bahan tetapi juga oleh biaya bahan baku, tenaga kerja, dan overhead pabrik. Meskipun beberapa bahan mengalami kenaikan, tetapi harga yang ditetapkan perusahaan tidak secara tiba-tiba naik drastis, ada perubahan harga yang berangsur agar para pedagang kecil yang menjual makanan berdasar bahan mi dapat memperhitungkan harga jual jika bahan yang digunakan naik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun