Setiap kita pasti pernah mendengar pepatah yang berbunyi, "lain di bibir, lain di hati".
Setiap kali berbicara mengenai doa, pasti setiap kali itu juga hati tidak pernah tidak dilibatkan. Mengapa bukan pikiran atau lidah? Mengapa harus hati? Ternyata saya juga mengingat pepatah lain lagi yang berbunyi, dalamnya laut dapat di ukur dalamnya hati siapa tahu?
Hal ini pasti tidak asing bagi beberapa orang yang hidup doanya benar-benar melibatkan hati.
Dari setiap pengalaman yang ada memang kebanyakan bahwa berdoa kadang-kadang tidak mudah terlebih bila relasi dengan Tuhan dirasa renggang. Mungkin bisa diterima karena kadang-kadang suasana batin seseorang mengalami dinamika yang tidak menentu.Â
Jika hal ini yang terjadi, menurut saya masih bisa saya maklum, karena dalam pengetahuan hidup rohani ada yang namanya krisis rohani. Krisis rohani adalah keadaan di mana seseorang tidak mampu mengalami Tuhan dalam hidup doanya, hidup terasa hambar dan hampa. Akan tetapi keadaan ini, memungkinkan seseorang untuk lebih tekun dalam hidup doanya.
Berbeda dengan pengalaman saya yang kali waktu ketika dalam situasi berdoa di tempat ibadat. Sebut saja nama tempatnya adalah "Kapel".
Seperti biasa hari Sabtu sore kami mengadakan ibadat sore pertama dalam minggu. Dan seperti biasa juga saya mendekorasi dengan baik dan menurut saya dekorasi yang sudah saya buat bisa dikatakan bagus. Ibadat sore atau doa bersama pun berlangsung. Saya menghayati setiap mazmur yang dinyanyikan diiringi dengan musik organ yang membuat suasana lebih hikmat.
Setiap kalimat per kalimat saya ucapkan sebagai doa yang mengalir dari hati yang dalam dan tulus kepada Tuhan, walaupun suara saya terkadang serak, tetapi saya yakin Tuhan maha mengetahui isi hati saya. bagi saya suara bukan merupakan syarat utama untuk bisa berdoa khusyuk.Â
Walau pun ada kalimat indah yang mengatakan, bahwa bernyanyi sama dengan dua kali berdoa. Menurut saya tidaklah demikian, di Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru tidak ada tertulis hal demikian. Dan bagi saya hal ini menghibur diri sendiri karena memang suara saya pas-pasan dalam bernyanyi.
Pengalaman yang mengejutkan saya adalah ketika usai melakukan doa bersama, seorang saudari mengejutkan saya dengan perkataan. "bagaimana mata suster memandang pemandangan ini?" sembari membawakan lilin pesta dan kain altar berwarna kuning.Â
Dan sambil memasangkannya di altar, ia berkata lagi "suster harus didikte setiap kali". Mendengar itu, saya berusaha untuk mengambil sikap yang tenang dan berusaha untuk tetap menjaga keadaan lebih baik. Saya tidak memberikan jawaban walaupun dalam benak saya muncul kejengkelan.Â