"Anak-anak adakah di sini yang suka membaca novel?" Tanya Bu Guru Rani kepada siswa.
"Banyak Bu. " Jawab siswa serentak sambil mengacungkan tangan. Hanya ada sebagian siswa yang tangannya tetap dibawah dan barangkali memang tidak suka membaca.
"Baiklah, luar biasa. Novel apa yang dibaca?" Bu Rani mulai menelisik kegemaran siswa.
"Yang romantis-romantis Bu. " Kelas kembali riuh.
"Seru kan ceritanya?"
"Iya Bu!" Dengan kompak.
"Terus, ada yang ingin menulis seperti itu? Ada yang suka menulis?" Akhirnya Bu Rani mulai bertanya tentang tujuan pembelajarannya.
Pada bagian pertanyaan ini siswa mulai kicep. Hanya sebagian siswa yang berani mengacungkan tangan dan menjawab.
"Ada yang bisa menulis?"
Pertanyaan Guru Rani yang bagian tersebut justru membuat siswa tidak mengacung dan malah membuat siswa bertanya dan mengeluh. Ada yang bilang kalau menulis itu susah dan lebih mudah berbicara. Ada pula yang mengatakan kalau lebih senang membaca ketimbang menulisnya.
Ilustrasi seperti di atas acapkali kita temukan. Bahkan, bukan hanya untuk kalangan siswa. Di kalangan mahasiswa dan masyarakat luas pun begitu. Rasa-rasanya menulis memang memunculkan permasalahan serius dan menjadi tantangan yang perlu keberanian untuk menerabasnya.
Menulis yang sifatnya aktif produktif sama halnya dengan keterampilan berbicara dalam bahasa. Dalam berbicara, perasaan minder atau tidak percaya diri dalam menyampaikan sesuatu melalui lisan membuat si pembicara gugup dan kadang gagap ketika tampil.Â
Begitu pula dengan menulis, perasaan takut salah dan tulisan jelek membuat seseorang enggan untuk memperlihatkan tulisannya. Paling apesnya, rasa tidak percaya diri ini malah memundurkan hajat seseorang untuk menjadi penulis. Alasan lain yang menyebabkan tulisan tidak kunjung selesai dan terkesan susah dapat disimak berikut ini.
Dihantui rasa malas
Rasa malas tidak hanya menjangkitii keinginan seseorang dalam menulis. Kegiatan apa saja dapat menjadi terbengkalai karena penyakit yang satu ini. Terlebih dalam kegiatan yang berhubungan dengan kebaikan. Jangankan menulis, dalam ritual-ritual keagamaan semisal shalat dan puasa saja sering kali harus berjibaku melawan rasa malas ini.
Dalam kegiatan menulis, rasa malas menjadi momok yang dapat mengurungkan keinginan menulis. Rasa malas ini dapat hadir dalam setiap waktu, sebelum menulis, saat menulis dan akhir menulis. Saat di awal menulis yang identik dengan tahap persiapan, rasa malas menghampiri saat pengumpulan referensi dan membacanya.
Kita tahu bahwa salah satu resep untuk menulis adalah membaca. Membaca dapat menjadi modal pertama seseorang untuk menulis. Dengan membaca, setidaknya berbagai kosa kata telah dikuasai, cara-cara penulisan sedikit banyak diketahui. Namun, berbeda jika rasa malas menghantui, kita tidak akan memeroleh apa-apa.
Tidak berhenti pada tahap awal, rasa malas justru dapat hadir saat proses menulis itu berlangsung. Di tengah proses menulis kadang kita malah merasa tiba-tiba malas untuk melanjutkan tulisan atau kerap juga memilih menunda dan melanjutkan di lain waktu padahal tulisan itu dapat diselesaikan waktu itu juga.
Di akhir pun juga begitu, kerap kali malas untuk mempublikasikan tulisan tersebut sehingga memilihnya untuk disimpan dan didiamkan begitu saja. Tulisan yang layak untuk dibaca oleh khalayak ramai kemudian menjadi konsumsi pribadi.