Kepiawaian Arya Dwipangga dalam meramu syair inilah akhirnya yang membuat Nari Ratih, kekasih adiknya itu bertekuk lutut di hadapannya. Nari Ratih yang semula begitu setianya terhadap Kamandanu lebih memilih berpaling dan jatuh ke pangkuan Arya Dwipangga setelah mendapat kiriman syairnya berkali-kali.
Baca juga: Keindahan dan Manfaat dari Syair Pra Islam
Arya Kamandanu sakit hati? Sudah pasti, saya yang menonton waktu itu juga kesal terhadap Arya Dwipangga. Untungnya Kamandanu seorang pendekar yang dibilang tangguh, tentu tangguh juga hatinya. Coba kalau saya, mungkin sudah nangis di pojokan kamar dan unggah status di WhatsApp.
Tidak hanya sampai di situ, dengan kepiawaian dalam membuat syair itu pula Arya Dwipangga dikenal dengan penyair berdarah. Syair itu pula yang membuat Arya Dwipangga menjadi sakti dan diperhitungkan dalam dunia persilatan. Lawan-lawannya yang mendengar syairnya akan merasakan sakit yang luar biasa, terutama di telinga.
Sayangnya, di akhir Arya Dwipangga memilih bertobat dan terus berjalan untuk melakukan penebusan dosa. Akibatnga syairnya pun turut lenyap karena Arya Dwipangga tidak pernah disyuting lagi setelah itu.
Puisi anak tahun 1990-an
Tahun 1990-an sampai awal 2000-an di tempat saya perangkat handphone tidak banyak seperti saat ini. Bisa dibilang hanya satu dua orang yang memegang handphone, sehingga orang yang pegang handphone waktu itu sudah dianggap keren.
Oleh karena itu, saya dan teman saya yang termasuk tidak memunyai handphone lebih mengandalkan secarik kertas untuk berkirim pesan, yang disebut surat. Umumnya bagi kami, surat yang dikirim adalah surat cinta. Isi suratnya ada dua pilihan surat seperti biasa ala Zainuddin dan Hayati atau puisi, bisa juga gabungan dari keduanya.
Kedua pilihan tersebut bagi saya sangat sulit karena tidak pandai merangkai kata dan kerap kali surat itu tak berujung balasan. Namun berbeda dengan teman saya, serasa mudah menuliskannya dan berujung balasan.Â
Kata teman saya pula, cewek yang telah membaca dan menaruh respek terhadap surat yang dikirim akan selalu curi pandang dan lempar senyum esok harinya. Dia juga akan menunggu surat yang dikirim lagi dan membaca meskipun berlembar-lembar.
Lucunya, dalam menulis baik puisi maupun surat yang akan dikirimkan, malam hari perlu merenung dan menyendiri agar memeroleh inspirasi. Kadang juga perlu membaca buku untuk mencari referensi.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!