Tersadar setelah membaca ulang Rolling Stone Magazine Indonesia edisi April – Mei 2008 ( Saya temukan waktu beres-beres lemari), ternyata selera musik saya memang agak beda jika dibandingkan beberapa kawan. Mungkin satu dari dua puluh orang saja yang nyambung dengan apa yang saya suka. Bukan sok beda dari yang lain,apalagi merasa ekslusif, hanya saja telinga ini kurang nyaman ketika harus dipaksa mendengar musik – musik alay, begitulah beberapa manusia Jakarta menyebut aliran musik yang hanya ikut – ikutan pasar, menomorsekiankan kualitas musik itu sendiri.
Beberapa dari anda mungkin adalah pengamat perkembangan music tanah air, baik major maupun indie lebel. Anda mungkin juga sudah jengah dengan adanya lagu – lagu yang bertemakan cinta melulu, kalaupun diresapi tak akan kita temukan apa maksud liriknya. Ngglender..(nyuri istilah orang Tuban). Tapi inilah saya, lumayan bangga bisa agak nyeleneh dari yang lainnya. Meskipun jika dibandingkan kawan yang di kota sana saya juga masih kalah jika ditanya macam – macam tentang band dari indie label. Setidaknya saya masih nyambung lah beberapa bagian dari mereka.
Musik dalam negeri
Untuk sementara ini, Santamonica adalah duo paling maknyuss bagi saya. Joseph Saryuf dan Anindita, pasangan suami-istri yang surreal itu membawa aura tersendiri bagi saya ketika mendengarnya. Apalagi ketika menonton dua video mereka, awalnya saya tak paham apa maksudnya video itu, absurd sekali, maklum awam. Selain album curiouser and curiouser, Album 189 terbilang unik, khusus dipersembahakan sebagai souvenir saat pernikahan mereka, terdiri dari 3 single yang saya jamin mantab!! Yang bertalian sama Santamonica ada Nouvelle Vague (Perancis), Sova juga Syncoop ( vokalisnya si Sekar, anak TL-ITS 2007 )
Adalagi indie yang kalau bikin lagu, liriknya ngena banget. Apalagi kalau bukan Efek Rumah Kaca (ERK). Saya sangat suka dengan sang vokalis sekaligus pencipta beberapa lagu mereka, Cholil Mahmud, lirik yang dibuatnya bagus, penuh makna, pas sekali dengan tipe manusia macam saya. Bahkan salah satu singlenya, debu-debu beterbangan itu liriknya diambil dari Suroh Al-’Ashr, merinding saya mendengarnya. Senada dengan ERK ada The Morning After, Sore, Quasimodo dan Spearmint.
Musik keras macam Seringai itu sebenarnya mengganggu saya, akan tetapi lirik mereka itu unik. Bisa dibilang mereka “Mengadili persepsi, Bermain Tuhan”. Cholil ERK bilang, “Mereka telah membuat satu anthem yang membuat bulu kuduk berdiri, adakah hal yang lebih indah selain individu merdeka?”. Dan akhirnya saya mencoba mendengarkan Seringai, nonton langsung juga pernah waktu Urban Fest di Ancol, tapi hasilnya saya tetap belum bisa suka music keras, kecuali beberapa single dari kompilasi L.A Lights Indie Fest, The Adams dan Rocket Rockers.
The White Shoes & Couple Company bisa dibilang band langka. Genre yang mereka bawa pun tak banyak yang punya. Mereka sering tampil dengan recycle lagu-lagu lawas bikinan maestro seni Indonesia. Sebut saja single Sabda Alam karya Tn. Ismail Marzuki yang juga pernah jadi OST Berbagi Suami. Lainnya dalam album Skenario masa Muda banyak menampilkan satuan irama yang asik punya. Dijamin serasa kembali ke jaman 1980-an lah. Suara viokalisnya si Aprilia Apsari juga unik. Hasilnya coba Anda dengar sendiri lah, kurang afdhol kalau saya yang menyimpulkan.
Dari major label, saya suka Naif. Tak kalah unik dari yang lain. Liriknya gampang dipahami, musiknya juga mengalir begitu saja. Adem saat kita mendengarnya. 80’s lah!
Musik Impor
Kings of Convenience dan The Whitest Boy Alive, tak lain tak bukan karena sama -sama punya Erlend Oye, yang kalau bikin lagu mengalir begitu saja. Datar!! Paling asik kalau dibuat teman bergadang saat tugas-tugas kuliah lagi menggila dan saya harus melek malam. November lalu, WBA sempat manggung di Indonesia, walaupun sebenarnya hanya sebagai band pendukung Jens Lekman, tapi penampilan mereka (katanya) luar biasa.
Jamie Cullum & Sondre Lerche. Berangkat dari belahan bumi yang sama, Eropa, dua pemusik jazz ini masih muda tapi siapa yang tak kenal sigle mereka. Jamie Cullum pernah ke Indonesia waktu Java Jazz tahun 2006. Performa panggungnya nyentrik, loncat sana – sini sampai nangkring diatas piano, itulah cirri Jamie Cullum. Kalau Sondre, cukup satu kata, Lahualalana..