Mohon tunggu...
Nisa Lutfiana
Nisa Lutfiana Mohon Tunggu... Tutor - Okee saya seorang perantau yang tengah mencari penghidupan di perbatasan negeri ini :)

I know I'm not the only one. Belajar tak akan pernah mengenal waktu. Inilah sepenggal cipta dari rasa yang terjaga.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tujuan Hidup dan Bagaimana Mengakhirinya

21 Maret 2017   15:26 Diperbarui: 21 Maret 2017   23:32 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://besottedblog.com

Pembicaraan kematian baru-baru ini menjadi begitu ramai. Alasannya karna berita menghebohkan tentang kematian seorang bapak yang dengan sengaja ia siarkan secara langsung dalam salah satu akun media sosialnya. Kemudian menjadi benar-benar gempar setelah salah satu akun gosip yang cukup dikenal mengungkitnya. Begitu banyak tanggapan yang muncul, mulai dari betapa bodohnya si akun gosip itu karena memposting foto si Laki-laki yang telah tergeletak tanpa sensor, mencaci cara si Laki-laki mati, ikut bersedih atas alasan si Laki-laki mati dan masih banyak lagi.

Hal yang menarik buat saya bukanlah tentang kisah pengantar kematian maupun caranya mengakhiri hidup, namun kematian itu sendiri. Kematian sebagai sebuah akhir dari proses panjang kehidupan, menjadi begitu mengkhawatirkan bagi tiap yang hidup. Hampir setiap manusia pernah mengalami perasaan takut akan kematian.

Buat saya kematian adalah berakhirnya tugas kita di dunia, bahwa tujuan kita dilahirkan ke dunia telah usai, telah terpenuhi, hingga untuk tetap berdiri di atas tanah ini tidak diperlukan lagi. Sederhana bukan? Bahwa Soe Hoek Gie mati muda karna apa yang seharusnya ia lakukan di dunia ini telah ia lakukan, begitu pula dengan Soekarno atau Hatta yang mati tua. Yang menjadikannya rumit adalah bahwa kelahiran kita di dunia tidak disertai dengan keterangan tujuan hidup dan bagaimana mencapainya.

Atas dasar adanya sebuah tujuan itulah kenapa membunuh baik diri sendiri maupun orang lain begitu dilarang oleh agama. Ini membuat seorang tidak mampu menyelesaikan misi yang ia bawa dalam alasan kelahirannya ke dunia. Ini si hanya menurut saya loh ya.

Tapi bagaimana jika menurut kita tujuan hidup kita sudah selesai? Engga apa-apa dong bunuh diri? Ah, betapa egoisnya kita jika melihat hidup hanya dari perspektif diri sendiri. Bagaimana bisa kita memutuskan hidup kita telah selesai sedang menurut orang-orang yang mengenal kita itu belum selesai? Bagaimana bisa kita memutuskan hidup kita telah selesai sedang menurut Tuhan itu belum selesai? Sedang masih ada yang perlu kita kerjakan. Kita tak pernah tau itu.

Dalam Senjakala Berhala, bagian Petualangan-petualangan Manusia Bukan Waktunya, Nietszche mengkritik keras dokter yang terus berusaha menyelamatkan hidup seorang (menurut Nietzsche seorang yang hidupnya tergantung pada obat dan dokter telah kehilangan makna dan hak untuk hidup) dan menyepakati kematian berdasar kehendak bebas seseorang (read : bunuh diri). 

Kematian pada waktu yang tepat, kepala yang jernih dan dengan bahagia. Kematian yang disengajakan membuat pelaku mampu mengucapkan salam perpisahan dan juga penyampaian laporan kehidupan kepada keluarga atau saksi-saksi, berupa evaluasi sebenernya apa yang diingininya serta apa-apa yang telah dicapainya. Bukan malah kematian tiba-tiba, yang begitu mendadak, hingga salam perpisahan tak sanggup diucapkan dan ketidaksiapan untuk mati tak bisa dilawan. Menurutnya kita tidak bisa mencegah kita dilahirkan, tapi bisa memperbaiki kekeliruan ini. Pada titik inilah saya tidak sepakat dengan Nietzsche.

Sebagai seorang manusia, saya meyakini bahwa hidup kita bukan hanya milik kita sendiri, ada orang-orang yang baik sengaja maupun tidak terikat pula dengan hidup kita. Bahwa bagaimana kita bisa mengakhiri hidup, sedang masih saja ada orang yang kelaparan di luar sana, sedang masih saja ada orang yang menunggu kita ikut merapatkan barisan untuk melawan ketidakadilan, sedang masih saja ada orang yang menanti kita melindungi tanah air dan segala macam sumber daya yang terkandung di dalamnya, sedang masih saja ada orang yang menanti kita membuat perubahan hingga terciptanya komunitas masyarakat yang bebas merdeka dan mandiri.

Bahwa masih ada begitu banyak hal yang harus kita lakukan sebelum nafas panjang kita berhenti. Bahwa akan ada orang-orang yang begitu sedih saat kepergian kita, yang mencintai kita, sehingga saya pun tidak mengizinkan tubuh saya sakit. Kesadaran bahwa hidup kita bukan hanya milik kita lah yang menurut saya begitu penting, sehingga tindakan-tindakan egois berdasarkan persepsi diri sendiri tak muncul dengan mudahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun