Mohon tunggu...
Lutfiah Muthmainnah
Lutfiah Muthmainnah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

man jadda wajadah

Selanjutnya

Tutup

Love

Jatuh Cinta atau Obsesi? Mengenali Batas Cinta yang Sehat

15 Juni 2024   18:45 Diperbarui: 15 Juni 2024   19:04 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Cinta merupakan salah satu perasaan terindah yang bisa dirasakan oleh setiap manusia. Namun, terkadang batas antara jatuh cinta dan obsesi menjadi tipis dan sulit dibedakan. Obsesi yang berlebihan bisa membawa dampak negatif pada hubungan cinta dan kesehatan mental. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda obsesi dan menjaga agar cinta tetap berada dalam batas-batas yang sehat.

Jatuh cinta adalah perasaan luar biasa yang membuat kita merasakan euforia, bahagia, dan cenderung melihat segala hal dari sisi positif. Namun, obsesi adalah kondisi ketika pikiran kita terlalu terfokus pada satu hal, dalam hal ini adalah pasangan kita. Obsesi bisa membuat kita kehilangan kontrol dan perspektif yang sehat dalam menjalani hubungan.

Salah satu tanda obsesi adalah keinginan untuk selalu mengontrol pasangan. Seseorang yang terobsesi cenderung ingin tahu segala hal yang dilakukan pasangannya, membatasi ruang gerak, dan merasa cemburu berlebihan. Perilaku seperti ini bisa dianggap pengekangan dan membuat pasangan merasa tidak nyaman atau tertekan.

Selain itu, seseorang yang terobsesi cenderung memiliki pemikiran yang tidak rasional tentang pasangannya. Mereka mungkin mengidealkan pasangan secara berlebihan atau bahkan mengagungkan pasangan layaknya seorang dewa atau dewi. Hal ini bisa membuat perspektif menjadi tidak sehat dan membuat seseorang kehilangan akal sehat dalam menjalani hubungan.

Obsesi juga bisa membuat seseorang melupakan dirinya sendiri dan kehilangan identitas. Mereka terlalu terfokus pada pasangan dan mengesampingkan kebutuhan, minat, serta tujuan pribadi mereka sendiri. Kondisi ini bisa membuat seseorang menjadi bergantung secara berlebihan pada pasangan dan kehilangan kemandirian.

Di sisi lain, cinta yang sehat didasari oleh rasa saling menghargai, kepercayaan, dan kebebasan untuk tumbuh bersama. Dalam hubungan yang sehat, kedua belah pihak memberikan ruang untuk mengekspresikan diri dan mengejar minat masing-masing tanpa merasa terancam atau terkekang.

Cinta yang sehat juga dicirikan dengan kemampuan untuk menyelesaikan konflik secara konstruktif dan saling memahami satu sama lain. Kedua pihak tidak segan untuk berkomunikasi secara terbuka dan jujur, serta bersedia untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Pada akhirnya, cinta yang sehat adalah cinta yang membebaskan, bukan mengekang. Cinta sejati memungkinkan kedua pihak untuk tumbuh bersama, saling mendukung, dan mencapai potensi terbaik masing-masing tanpa harus mengorbankan identitas diri atau kebebasan pribadi.

Oleh karena itu, penting untuk selalu menjaga batas antara jatuh cinta dan obsesi agar hubungan cinta tetap berada dalam koridor yang sehat. Dengan menjaga perspektif yang seimbang dan memperlakukan pasangan sebagai individu yang utuh dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, kita bisa membangun hubungan cinta yang matang, sehat, dan langgeng.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun