Pada dunia kontemporer saat ini, segala keragaman yang tercipta tidak terlepas oleh peninggalan kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Barat. Kolonialisasi yang diciptakan oleh bangsa Barat telah memberikan dampak yang permanen terhadap masyarakat, budaya, ekonomi, dan politik di wilayah bekas jajahannya. Penjajahan yang terjadi seringkali melakukan eksploitasi terhadap hak asasi manusia, sumber daya alam, dan pudarnya kebudayaan lokal. Dampak dari kolonialisme yang dilakukan bangsa Barat dapat dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu aspek fisik dan non-fisik. Pada aspek fisik, peninggalan yang diberikan oleh negara penjajah dapat terlihat melalui konstruksi bangunan pada masa penjajahan yang identik dengan ciri khas negara koloninya. Selanjutnya, pada aspek non-fisik telah memberikan dampak yang berkelanjutan dalam lingkungan masyarakat tersebut. Penerapan semboyan 3G (Gold, Glory, Gospel) yang dibawa bangsa Barat telah menanamkan pola pikir yang berusaha memarjinalisasikan ilmu pengetahuan di negara jajahannya. Penggunaan visi misi Pemberadaban yang diusung oleh bangsa Eropa telah memaksa warga koloninya untuk mengadopsi pemikiran tersebut ke dalam gaya hidup kesehariannya.
Banyak negara bekas kolonial yang kemudian tidak mampu mengatur fungsi pemerintahan dalam negara tersebut dan mengakibatkan ketergantungan terhadap negara penguasanya terdahulu. Ketika kolonialisme sudah melepaskan diri dari negara jajahannya, maka situasi masyarakat dalam negara tersebut berubah menjadi poskolonialis. Kondisi tersebut pada akhirnya memunculkan pemikiran yang berusaha menciptakan kebenaran dengan metode-metode yang memajukan keadilan, perdamaian dan pluralisme politik. Pemikiran alternatif yang muncul pasca berakhirnya Perang Dunia II tersebut kemudian dikenal dengan Paham Poskolonialisme. Menurut Siba N. Grovogui dalam buku International Relations Theories, pandangan poskolonialisme memperkenalkan keragaman perspektif, tradisi, dan pendekatan terhadap pernyataan yang berhubungan dengan identitas, budaya, dan kekuasaan.
Pemikiran poskolonialisme menekankan pada dominasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa Eropa dalam masa kolonialisme yang berlangsung sejak abad ke-15. Poskolonialisme membantah klaim bahwa Eropa memiliki bentuk-bentuk akal budi, moral, dan hukum. Hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dan etika yang disalahgunakan oleh kekuatan Barat dalam tujuan mengakuisisi dan mempertahankan pengaruhnya di wilayah jajahannya. Dalam konteks aksiologi, keterlibatan nilai-nilai budaya, tradisi, dan sistem etika memiliki sifat yang fundamental dalam tindakan dan gaya hidup masyarakat. Oleh karena itu, poskolonialisme berusaha mempertanyakan dan memperbaiki hierarki kekuasaan serta mempromosikan nilai-nilai yang berprinsip pada keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia.
Dalam mengkaji setiap peristiwa, persektif poskolonialisme memandangnya dengan menggunakan perandaian dari lensa biner. Perandaian tersebut sejalan dengan cara berpikir dalam Aksiologi Ilmu. Menurut Mohammad Adib dalam buku Filsafat Ilmu, dijelaskan bahwa aksiologi berusaha menemukan kebenaran atas fakta yang ada dan memiliki kepastian kebenaran ilmiah. Lensa biner disini diumpamakan sebagai cara berpikir yang melihat baik dan buruknya fakta yang dilakukan oleh bangsa Barat. Perilaku yang terbentuk dalam masyarakat bekas negara koloni disebabkan oleh persepsi positif ataupun negatif yang muncul dari pemikiran bangsa itu sendiri. Maka dari itu, banyak negara eks jajahan yang membenci perlakuan dari negara penjajahnya terdahulu, namun juga meniru gaya hidup yang dianut masyarakat Barat.
Salah satu bentuk tindakan yang memperlihatkan dampak dari kolonialisme yaitu pada gaya hidup yang digunakan oleh masyarakat di era kontemporer. Sisa dari kolonialisme ini menjadikan globalisasi sebagai kekuatan yang signifikan dalam pertukaran informasi, komunikasi, dan interaksi lintas budaya yang seolah tidak terdapat batasan-batasannya. Nilai-nilai dan norma yang diciptakan oleh negara Barat pada akhirnya dijadikan sebagai sebuah patokan dalam gaya hidup masyarakat kontemporer sekarang. Banyak masyarakat yang tanpa sadar sudah mengadaptasi cara hidup Barat seperti dalam berpakaian, berkomunikasi, dan berperilaku. Kerangka ini melibatkan pengembangan sistem nilai yang melampaui batas-batas geografis sebagaimana efek dari globalisasi yang terjadi. Dalam sudut pandang tersebut, aksiologi menentang dominasi nilai-nilai yang disebarkan oleh bangsa Barat dan mendorong inklusivitas dari nilai-nilai lokal yang ada.
Pemudaran budaya yang diakibatkan oleh kolonialisasi telah menjadikan banyak masyarakat dunia kehilangan identitas asli sebagai suatu bangsa. Terjadi dilema dalam suatu negara untuk menentukan identitas mana yang hendak dijadikan sebagai bagian dari budaya mereka. Hal tersebut terjadi pada berbagai negara dunia ketiga yang menjadi bekas koloni dari bangsa Barat. Poskolonialisme merespon tindakan tersebut dengan refleksi kritis terhadap sikap yang dilakukan bangsa Eropa. Dalam menganalisis tentang kolonialisme ini, aksiologi berusaha menganalisis dan mengevaluasi legitimasi moral dari dominasi yang terjadi dalam kolonialisme. Selain itu, pemikiran kritis yang melibatkan pemahaman umum dari Filsafat telah membantu memahami konsekuensi etis dan dampak sosial dari kolonialisme.
Dalam kesimpulannya, pemikiran poskolonialisme memiliki relevansi yang signifikan terhadap sudut pandang aksiologi. Perspektif poskolonialisme yang menentang bekas-bekas kolonialisasi yang dilakukan oleh negara Barat sejalan dengan cara berpikir yang ditawarkan dalam aksiologi ilmu. Aksiologi disini digunakan dalam menyoroti nilai-nilai, moralitas dan etika yang dijalankan oleh bangsa Eropa. Dengan menggunakan prinsip-prinsip aksiologi yang digabungkan dengan analisis filsafat, penggunaan sikap kritis dapat membantu dalam memandang kolonialisme secara fundamental dan mendorong perubahan sosial yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H