Seandainya saja waktu bisa dilipat, diatur, mungkin di mata perempuan itu bukan hanya nyaris hujan yang ada tapi ada pula pelangi yang berwarna.
Namun sejarah kata-kata tidak gampang untuk dilupakan, terlebih sejarah perbuatan dan amukan yang membara, sungguh menjadi luka. Keterbatasan ini membuat sulit, pelampiasan dan pelampiasan, apa perempuan itu harus selalu menjadi pelampiasan?Â
Barangkali juga perempuan itu hanya berupa huruf-huruf dan paragraf mati yang tidak memiliki nilai. Di mata perempuan itu hanya nyaris hujan, seperti dianggap dan tidak. Seringkali tidak memiliki kesadaran, bukan itu ingin perempuan itu tapi itu yang terjadi dan mengakibatkan mental yang tidak sehat.Â
Yang menjadi kebodohan perempuan itu, lemah pada yang namanya romantisme kasih sayang. Sakit, seperti tidak dianggap tapi kejadian sore itu di bulan pertama hari ke tiga puluh di kamar yang sempit lagi pengap tanpa ventilasi udara, perempuan itu harus menanam luka di dalam hati agar tidak menjadi bumerang bagi banyak orang. Karena ketika pun perempuan itu bersuara, tidak akan pernah didengar yang ada malah akan dipersalahkan dan disudutkan.Â
Sore itu perempuan itu kalah dan di matanya hanya nyaris hujan, sungguh perempuan itu ingin keluar dari penjara yang berbahaya terus-menerus dan menemukan kebebasan, kepala perempuan itu sedang dipenuhi amarah, banyak praduga akan hidup. Kemudian pada suatu hari, perempuan itu akan mengalami tenang teduh dan benar-benar menikmati hidup dan di mata perempuan itu tidak lagi hanya nyaris hujan.
***
Rantauprapat, 30 Januari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI