Ada seseorang di dalam kepalaku yang bukan aku, seseorang yang kesejahteraannya adalah kesejahteraanku tapi kesejahteraanku bukan kesejahteraannya. Yang tanpa aba-aba dan pemberitahuan bisa menghancurkan. Aku benar mencintai, namun ia tidak pernah memiliki rasa cinta itu. Karena pernah ia ingin aku mati.
Lagi, ada seseorang di dalam kepalaku yang bukan aku, seseorang itu yang pernah buat aku membunuh. Membunuh harapan. Membunuhku dengan keberterimaan. Ia adalah rumahku. Seseorang yang menjadi tenang teduhku. Begitulah aku.
Ia adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung habis aku pertanyakan, ingin mundur tapi ada saja yang menghalangi. Demikianlah aku.
Ya, karena ia aku sering gagal. Aku rindu namun dirumit amarah yang membara.
Lagi, ada seseorang di dalam kepalaku yang bukan aku, adalah hal yang menjauhkan aku dari kenyamanan. Membawa diri pada kekosongan. Seseorang dalam kepalaku yang bukan aku terlalu berisik. Banyak perlakuan yang membuatku seperti bukan aku, mencoba memaafkan tapi melupakan, butuh waktu seumur hidup.
Bukankah ia, seseorang yang makin ke sini makin bertambah tua sepatutnya memperbaiki diri karena sudah bau tanah kuburan. Ini malah kebablasan pada dosa yang merayu.
Hey, seseorang dalam kepalaku yang bukan aku gunakan kewarasanmu. Aku mulai jengkel, tidak merasakan kemerdekaan. Untuk hari selanjutnya, di masa depan nanti, aku berharap tidak selalu merasa sedih. Tidak mati di pekuburan sepi. Kebaikan yang pernah ditabur seperti sia-sia, dibalas dengan brutal pada nilai nol yang tidak berisi.
Namun tetap berharap seseorang di dalam kepalaku yang bukan aku, mendapatkan kebahagiaan dan tenang teduh. Karena seseorang di dalam kepalaku yang bukan aku adalah kebahagiaanku juga.
***
Rantauprapat, 09 Agustus-Desember 2024