Tidak tahu pasti apa yang menyebabkan, berulang kali mencari jejak terjadi tak kunjung juga dapat. Asal usul yang masih belum tahu jawabnya karena banyak pertanyaan tentang ini, pertanyaan yang tak akan habis Bagaimana rasanya? Menyesakkan sekali, mengalami kisah-kisah rumah tanpa jendela. Pengap dan sangat gelap. Terasa sesak dan sulit untuk bernafas.
Sehat tapi sakit, hidup tapi mati. Siklus kehidupan yang benar-benar memberi perih. Barangkali sendirian sampai mati, mati yang benar-benar mati.
Tatapan yang mengucilkan memberi trauma psikis. Seperti merasakan sengatan listrik bertegangan tinggi. Tidak ada seorangpun yang menginginkan disabilitas melekat pada diri. Seperti abu-abu, tidak hitam tidak putih. Menakutkan hidup seperti ini. Bahkan ketika ada kebahagiaan selalu ada kecemasan yang mengiring. Seperti ada kabut berduri, menuju hancur.Â
Ini kisah seorang perempuan disabilitas, perempuan berdosa yang berpura-pura tabah. Sering mengumpat, sering tidak menerima. Yang lebih malang adalah, perempuan disabilitas itu dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki disabilitas nurani. Seperti berada dalam lingkaran predator yang berbahaya. Memuakkan untuk perempuan itu.Â
Bukan kemarin. Bukan hari ini. Barangkali juga bukan esok. Entah hari yang kapan. Perempuan itu meyakini terhadap jejak dan siluet kehidupan yang patah, terhadap nelangsa kehidupan, tentang banyak saksi mata yang membiarkan perempuan disabilitas itu terluka, ia tak akan membenci, karena dengan menyalakan tak akan mendapatkan apa-apa, dengan membenci masa lalu takkan ada masa sekarang yang akan memberikan warna bahagia.Â
Perempuan disabilitas itu akan meyakini itu untuk dirinya. Karena tidak ada larangan tertulis untuk perempuan itu, untuk menyerah menjalani kehidupan.Â
***
Rantauprapat, 07 Agustus 2024Â
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H