Banyak yang membuatku layu, tak ada rasa manis yang hinggap padaku seperti kopi pahit yang sangat pahit. Ketika banyak yang beranggapan aku seperti perempuan yang kesepian dan butuh perhatian, biarkan saja mereka dengan segala pemikirannya. Kembali kepada pilihanku tetap kesepian dan membiarkan sepi membunuhku atau aku patahkan paradigma itu.
Aku mau sudahi kedegilan hatiku, untuk apa bermain-main pada predator yang berbahaya.
Kepada aku, yang lelaki itu berkata bahwa aku perempuan yang membiarkan diri terbuai oleh rayuan sepi, menjadi perempuan yang kalah. Â Apakah harus selalu kalah? Bukan, aku tidak mau seperti itu. Lelaki itu juga berkata, aku perempuan berwajah ungu, yang terlalu gagu dan gamang pada pagiku yang malam atau pada malamku yang kelabu. Cukup, aku mau belajar tuk sudahi kegelisahanku.
Pudarkan ingatan tentang jejak dan siluet yang memberikan luka. Aku harus bisa sengaja melupa pada pendulum dan siklus yang menulis segala elegi dan kehampaan. Harus pula mampu merayu pagi dan malamku agar kebahagiaan berayun-ayun di berandaku.
Kepada aku, perempuan berwajah ungu, aku tidak lagi membiarkan gerigi-gerigi hampa mempersulit pikiranku hingga buntu. Aku percaya dan akan melihat dengan mata telanjangku, masih ada yang peduli padaku, juga masih memiliki rumah tempatku berpulang.
Kepada aku, kuat dan bertahanlah, untuk apa biarkan diri mati seperti daun layu yang diterbangkan angin.
***
Rantauprapat, 04 Agustus 2024