Air mata jatuh. Sunyi sepi ada padaku. Berpuluh tahun aku tidak pernah merdeka. Tapi ada menyadarkanku, untuk apa aku melukai diriku sendiri bahkan ketika aku sadar tidak ada pernah yang perduli saat aku jatuh dan terluka.
Ketika aku seperti kali yang habis airnya, toh aku yang harus membuat diriku sendiri bangkit untuk mendapatkan air. Ingin menemukan kedamaian, pun tenang teduh.Â
Aku sadar, aku seperti pohon anggur yang tidak riap tumbuhnya, aku juga adalah camar yang sendirian, aku juga pernah menjadi terdakwa, pelaku, dan korban kejahatan. Sering bersembunyi dalam sunyi malam. Dibalik itu, semua aku ingin punya cerita hidup yang bahagia. Benar-benar mengakhiri patah hati walau bukan aku yang menaburnya.
Aku ingin merdeka kali ini. Ingin lebih mencintai diriku sendiri. Bersikap bodo amat pada hal-hal yang merusak diriku. Kepada luka, aku ingin berdamai. Kepada cinta yang kurasakan, walaupun cinta itu tidak terbalas, aku ingin berdamai. Karena bagiku sulit untuk berhenti mencintai.
Aku ingin merasa lebih hidup. Setelah ini, akan banyak yang akan membuat aku murung dan lesap dari kesadaran, bahkan banyak keributan dan kebisingan yang mengganggu aku dan isi kepalaku, tapi aku mau belajar membaca itu dengan penerimaan. Bukankah lebih baik membakar sampah dan membuangnya, daripada memelihara sampah itu menjadi tumpukan yang bau.
Sudah terlalu lelah menjadi para penjelajah ke pura-puraan di tanah gersang. Aku benar-benar ingin merdeka setidaknya untuk diriku sendiri.
Ini tentang kemauan dan tekad yang ingin disemogakan.
20.12.23 //Â Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H