Kenapa kau hanya membagi air hujan untuknya? Hujan air mata. Selalu ia salah pada pemandanganmu. Ia kau biarkan kelaparan dilahap keinginanmu yang lebih prepare pada orang lain. Heran memang.
Terkadang, kau perlu menurunkan standarmu untuk memperhatikan. Ia memang lemah, tak berdaya, tak bisa apa-apa tanpa bantuan tapi bukan pula ia tak punya perasaan. Sering sembunyi-sembunyi mencari perhatianmu tapi entahlah.
Tak ada kepemilikan antara kau dan ia, bukan siapa-siapa. Sepi, gila, tak ada tenang teduh, hanya air mata. Realita dan ketidakadilan hidup sedang bermain-main dan berguyon dengannya. Ia sedang dipecundangi dan ditertawakan.
Kelaparan bukan melulu tentang perutnya tapi, ia tersesat dan kegilaan pun menjadi. Rekam jejak yang payah terjadi, menimbun emosi negatif, Â karena kau melepas gara. Air hujan yang baru kaucampakkan buat ia menjadi layu seperti kembang.
Kau anggap ia dungu, ia hanya perempuan yang gagal bertumbuh. Dengan kata-kata, kau bunuh segala yang menjadi inginnya. Air hujan yang dahsyat sungguh sangat menakutkan baginya. Tapi ia sadar, perjalanan hidup hanya fana, tak boleh ia terbuai pada kebinasaan yang buat ia hancur dan lesap dari keberterimaan.
***
Rantauprapat, 05 Januari 2023
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H