Ini bukan tentang apa yang perempuan itu mau, ingin menjauh dari kebisingan. Berada di entah jauh lebih baik bagi perempuan itu tapi tak kuasa atas keinginan untuk merdeka. Tak ada rumah ramah yang memberi penerimaan, hanya kepalsuan yang nyata. Pagi ini perempuan itu kembali dalam perjalanan sedih. Penolakan dan dipersalahkan.
Ia marah pada keadaan, kenapa harus disabilitas? Membiarkan kehampaan dan kegelapan meraja. Lo ruhama di mesopotamia sepi dan sunyi. Tak ada tempat yang bisa dituju, tak ada tempat untuk pulang.
Perempuan itu seperti orang asing bagi dirinya sendiri.
Hari ini, ada patah hati di penghujung minggu, ada hujan air mata. Menjadi sabtu yang basah. Sikap yang di dapat perempuan itu buat luka terdampar di hati dan pikiran. Luka hari ini begitu sulit untuk dilupakan. Anj*ng saja tahu sikap berterima kasih tapi circle perempuan itu adalah kebalikan.
Ini tentang catatan perempuan itu di sabtu yang basah. Menjadi korban kebodohan dan khianat menjadikan diri sebagai pelaku dan terdakwa kejahatan kelas berat. Hidup ini benar-benar tidak sopan pada perempuan itu. Ya, begitulah kenyataannya bahwa perempuan itu seperti gelembung dan kupu-kupu yang sayapnya patah di sabtu yang basah hari ini.
Sakit, kecewa, perempuan itu tidak pernah punya pilihan untuk memilih. Apa lagi yang akan terjadi selepas hari ini, haruskah tetap berpura-pura kuat dan baik-baik saja? Entahlah, Sejujurnya begitu sulit untuk mengenyahkan fakta yang sebenarnya.
***
Rantauprapat, 29 Oktober 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H