Kalah.
Menyerah.
Menjadi sembilu.
Terlampau banyak efek traumatis.
Perempuan itu mempertimbangkan hal yang akan dilakukan untuk mengakhiri rasa sakit, sungguh ingin menyingkirkan rasa sakit yang berpuluh tahun dialami.
Akhir-akhir ini perempuan itu tidak lagi tahan, sakit tapi hanya diabaikan. Berujung pada kematian kah atau akan terselamatkan. Ada dalam keraguan. Kerumunan duka bersama risau pun menyertai. Butir air mata tak jemu membasahi. Menjadi perempuan yang kehilangan nurani.
Damai, tidak dijaga betul-betul. Hari ini, perempuan itu berserah penuh pada kalah.
Hujan kebohongan, kemarahan, keegoisan bertubi menghantam. Bersembunyi di balik kata ROHANI, ternyata menjadi kata-kata sia-sia. Ini yang menjatuhkan, perempuan itu tidak lagi tahan akhirnya.
Tentang kasih, bullshit.
Ada tapi tidak ada
Tidak ada tapi mungkin ada.
Gagu, perempuan itu selalu ditawari kesedihan tanpa secuil bahagia. Begitu penuh kerumitan. Masa lalu, perempuan itu, dan masa depan sepertinya tidak bisa sefrekuensi. Saat-saat ini seakan menjadi musium patah hati terberat dalam hidup. Padang ilalang tumbuh dengan riap.
Perempuan itu ingin menjaga kesehatan mental dan fisik, tapi keadaan terlalu menyulitkan. Diharapkan namun tidak sepenuhnya menjadi. Secepatnya, dalam senyap perempuan itu ingin putuskan rantai kegelapan. Konyol barangkali, seolah perempuan itu mampu.
Hu, perempuan itu tidak ingin berkhianat dari tanggung jawab terhadap hidup, yang sungguh terjadi adalah hidup penuh ketidakadilan terhadap hal-hal yang perempuan itu jalani, pada hari ini perempuan itu tidak lagi tahan.
***
Rantauprapat, 14 Agustus 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H